Suasana kantin yang tidak pernah sepi tak menghalaukan siapapun yang lapar, termasuk keempat perempuan yang selalu setia duduk ditempat yang sudah melekat pada mereka sejak menjadi murid baru.
Seperti biasanya, selalu Mesi yang memesan makanan. Mesi sendiri yang meminta. Katanya, itu salah satu alasannya bisa leluasa melihat siswa yang lainnya. Karena memang diakui, tempat duduk mereka dipojok dan tidak begitu kelihatan akan sekitar kantin.
"Jadi, siapa laki-laki itu, Ey?" Tanya Audi setelah menitipkan pesanan makanannya ke Mesi.
"Laki-laki yang mana?"
"Teman barumu, tadi Daffa cerita, dia melihatmu ada dilantai kelas dua belas. Tumben kamu berani kesana,"Ey membuang napasnya gusar. Jadi Daffa tadi sempat melihatnya. Baiklah, secepatnya ia akan memberi tahu siapa Januar ke Daffa. Tapi, apa Daffa sudah pernah bertemu dengan Januar sebelumnya? Karena bagaimanapun, Januar sudah cukup lama sekolah disini, hampir satu bulan. Dan waktunya itu ternyata ia gunakan untuk mencari tahu tentang dirinya.
"Namanya Januar,"
"Temanmu?"
"Teman kecil dulu,"Sebenarnya, mendengar hal itu Audi sedikit terkejut. Teman kecil. Itu hal wajar sebenarnya, siapapun juga pasti punya pikirnya. Tapi menurutnya, mendengar Ey yang memiliki teman kecil rasa penasarannya semakin menjadi.
"Bagaimana anaknya?"
"Menyebalkan!"
"Lho, bukankah itu teman kecilmu?"
Ey mendengus. Tidak menaruh curiga sama sekali dengan Audi. Karena memang, Ey lebih sedikit terbuka dengannya dibanding Bella atau Mesi."Iya, tapi jauh berbeda saat kutemui dulu."
"Bisa begitu, ya?"
"Bisa, Januar contohnya."
"Hmm.. perawakannya seperti apa, Ey?"Ey menatap tegas ke arah Audi. Tumben sekali seorang Audi menanyai dirinya bertubi-tubi seperti sekarang. Apa ada hubungannya dengan Daffa?
Audi menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Sepertinya Ey mulai mencurigainya. Bella? Dia masih asyik dengan handphone dan earphone yang bertengger setia di telinganya.
"Kenapa memang?"
Telak. Audi bingung ingin menjawab apa, ia hanya menunjukkan sederetan giginya yang rapih sambil menggeleng.
"Sebenarnya, dari pagi saat aku mengajak Daffa berbicara, dia lebih banyak diam."
Ey mendengus kasar. Benar dugaannya. Audi tidak seperti Mesi. Sama sekali tidak. Audi tidak begitu tertarik untuk mengenal lebih jauh lawan jenisnya, terkecuali untuk menjalin pertemanan.
"Nanti ku kabari Daffa."
"Baguslah," balas Audi sedikit tenang."Makanan datang!" Pekik Mesi.
Ketiga gadis itu menatap jengah ke arah Mesi. Kenapa tidak bisa biasa saja coba? Pikir mereka.
"Berisik, Mes!" Ketus Bella.
"Bukannya makasih!" Mesi tak mau kalah.
"Makasih, Mesi." Bella sedikit memaksakan senyumnya, "jelek!"Saat ingin membalas omongan Bella, Ey lebih dulu angkat bicara. Perdebatan antara Mesi dan Bella sebenarnya sudah biasa. Namun lama-kelamaan juga bosan mendengarnya.
"Kapan mau makannya kalau berantem mulu?" Lerai Ey.
"Mana sini bakso gue," pinta Bella sinis.
"Nih," Mesi memberikan dengan malas, "punya lo nih, Ey. Sama lo, Di."
"Thanks" balas Audi.Keempat gadis tersebut menikmati makanannya. Jam istirahat sudah berlalu beberapa menit yang lalu. Tapi sama sekali tidak menghalaukan mereka yang masih asyik bersantap dengan hidangan yang tersajikan.
"Oh iya, gue ada ide!" Seru Mesi mengawali obrolan.
"Apa?" Balas Bella sedikit ketus.
"Cat warna rambut yuk!"
"Udah gila lo? Emang minta dilabrak sama senior,"
"Huft.. ya bukan pas sekolah juga, Bel. Gue masih sayang nyawa. Nanti pas liburan sekolah. Kan sebentar lagi libur semester tuh, gimana?"

KAMU SEDANG MEMBACA
Kita
Dla nastolatkówBukan kisah Romeo atau Juliet, lagipula, bukan kisah seperti itu yang diinginkannya. Mencoba dan belajar untuk menjadi gadis yang normal dan sebisanya mungkin, walau rasanya sangat tidak mungkin. Masing-masing diri yang selalu berusaha menjadi kita...