"Gimana ya, caranya supaya hilang rasa takut?"
"Aku nggak tahu, tapi yang aku tahu, rasa takut akan melekat kuat dalam diri kita, dengan atau atau tanpa kita sadari."
"Tapi, kenapa?"
"Kadang, rasa takut lebih menyeramkan dibanding menyebalkan. Tapi kita manusia, Ey. Kita manusia. Dan karena kita manusia."Saat ini Ey sedang menunggu Maya di depan gerbang sekolah. Daffa tahu, tak mungkin dibiarkan nadinya berdiri seorang diri, walau nyatanya selama ini ia lakoni itu sendiri.
Ey banyak bercerita hari ini, tentang Dendra yang di matanya seorang perusuh, Bella yang dicurigai Mesi memiliki hubungan dengan Rega, dan lengkap dengan bagaimana ujian yang dirasakan anak IPA.
Ey menatap dalam netra hitam legam tersebut. Dia masih tidak mengerti dengan pernyataan yang dilontarkan laki-laki kesukaannya itu. Ia malah jadi bertambah bingung. Lantas, kalau kita manusia, apa tidak boleh untuk berhenti memiliki rasa takut?
Menyadari hal itu, Daffa tersenyum melihat ke arah Ey. Dapat ia tebak, nadinya sedang bingung akan maksud dari pernyataannya.
"Kamu diam karena menurutmu memang benar atau bingung?"
"Yang kedua."
"Apa yang harus dibingungin? Diciptakan dengan memiliki rasa yang baik atau nggak, rasa takut alami dimiliki setiap manusia, Ey. Justru kalau memang kamu benar-benar tidak ingin memiliki rasa takut lagi, berhenti jadi manusia."Ey bungkam. Ekspresi Daffa masih sama ketika menjelaskan tentang hal baru padanya. Tidak berubah. Ini juga bukan pertama kalinya ia membicarakan perkara manusia hidup yang gagal atau selalu gagal.
Selalu ingin berhenti menjadi manusia atau pergi keluar dari bumi. Namun ketika mendengar Daffa yang mengatakan seperti itu, rasanya berbeda saja. Entahlah. Ia hanya ingin Daffa menjadi Daffa yang selalu senang ketika melihatnya sedang kesal.
"Ey, itu mobil ibumu?"
Ey menyudahi menatap wajah laki-laki itu. Ia menoleh ke belakang dan mendapati Maya yang keluar dengan mobil menghampirinya.
"Nak, ayo pulang, pasti kamu lelah. Daffa? Mau sekalian dianter pulang?"
Baru Ey ingin mengatakan iya, tetapi Daffa sudah mendahuluinya. Seperti tahu kalau dirinya akan mengiyakan tanpa persetujuan dari Daffa.
"Terima kasih, Tante. Rumah saya dekat, bisa jalan kaki."
"Benar, nggak papa?"
"Iya, Tante. Lagipula tante juga harus balik lagi ke kantor. Nanti jadi makin makan waktu."
"Ya sudah kalau gitu, ayo, nak."Ey menatap Daffa lesu. Tersenyum kecil sebelum berlalu meninggalkannya pulang. Daffa membalas senyumnya sambil menggelengkan kepalanya. Pasti gadis itu kecewa. Kecewa karena pernyataan darinya dan kecewa karena penolakan darinya. Tidak apa, Ey memang begitu.
🍃🍃🍃
Kadang, suatu hal yang selama ini dicari sebenarnya tidak kemana-mana dan benar-benar tidak kemana-mana. Ia hanya tersembunyi dibalik liarnya isi kepala dengan semua hal yang merumitkan.
Mengajak berdamai tapi rasa gundah lebih asyik diajak kompromi dibanding dengan rasa baik-baik saja. Karena baik-baik saja juga percuma, tidak selamanya yang baik itu baik bukan?
Mengingat tempo hari sudah berdamai dengan keadaan ternyata bukan hal buruk, tapi waktu tidak pernah berjanji bahwa damai akan menyertai selalu. Bukankah tidak apa? Namun, kenapa perasaan kacau selalu membuntuti. Jawabannya masih sama dan selalu, tidak tahu.
"Kita sampai,"
Ey masih diam tidak bergeming. Matanya masih menatap kosong ke arah luar kaca mobil.
Maya meraih surai pirang tersebut, mengelusnya halus, "kita sampai,"
Ey melepas seat belt lalu keluar dari mobil, segera masuk ke dalam tanpa mengucap sepatah kata apapun. Maya terbiasa dengan itu. Mungkin ia sedang letih, pikirnya. Lagipula, ia juga harus kembali lagi ke kantor.
Di dalam kamar, tidak ada kegiatan lain yang ia elukan selain duduk di bangku meja belajarnya sambil menatap jalanan depan rumahnya. Tidak tahu apa yang ia cari. Semuanya hanya meletihkan, dan mungkin dengan menatap ada jawaban.
Pekan ujian seperti ini, ia tidak ingin mempelajari materi kembali. Baginya, ini waktunya untuk mengistirahatkan pikiran. Dari pelajaran, bukan dari segala isi kepala yang merumitkan.
Masa-masa belajar sudah ia habiskan di pekan-pekan sebelumnya. Pekan depan selepas ujian berlangsung, diisi dengan kegiatan antarkelas. Membosankan pastinya.
Tapi memang semua yang berjalan seiring perjalanannya membosankan. Entahlah. Mungkin pandangannya selalu kabur tentang hal yang membahagiakan. Entah ia yang terlalu menutup mata atau kadar bahagianya yang terlalu tinggi. Tapi yang pasti, apakah bahagia memang pantas ia miliki?
Memiliki mama seperti Maya memang rasanya cukup melegakan. Kebutuhannya sangat jelas tercukupi, tapi siapa dirinya yang sebenarnya? Apa benar-benar tercukupi?
Hanya sebagai anak angkat dari Maya bukan berarti mendapat segala privilege yang Maya miliki menjadi miliknya juga. Belum lagi bentrokan yang ada jika sedang berkumpul dengan keluarga Maya. Siapa dirinya?
Nyaris tujuh belas tahun hidup, tapi belum tahu rasanya dicari karena merasa ada yang kehilangan. Maya tahu ia masih memiliki keluarga, entah masih utuh atau bernyawa, tapi Maya tahu itu. Memang benar, yang ia cari selama ini tidak pernah kemana-mana. Ia hanya merangkap didalam pikiran dan berjalan kemana-mana.
Ponselnya berbunyi. Dilihatnya nama yang tertera dari pengaku nadi. Sudah ia ganti, bukan Daffa lagi.
"Ya?"
"Biar aku tebak, pasti lagi memikirkan sesuatu."
"Selalu. Tidak perlu ditebak."
"Apa lagi? Boleh aku masuk ke dalamnya?"
"Terlalu kusut, Daffa."
"Mungkin aku bisa meluruskan."
"Aku saja sulit, apalagi kamu, orang lain, pasti lebih sulit."
"Aku masih orang lain, ya? Capek-capek mengakui dirimu adalah nadiku, ternyata masih dianggap orang lain."Ey tersenyum. Entahlah, lucu saja terdengarnya. Tapi tak lama kemudian, ia tertawa.
"Kenapa tertawa? Ada yang lucu?"
"Ada,"
"Apa?"
"Kita yang bukan siapa-siapa."Daffa sempat diam sebentar. Ey tidak tahu apa yang Daffa pikirkan. Tapi tidak apa bukan mengatakan kejujuran?
"Itu lucu menurutmu?"
"Iya,"
"Padahal aku bukan badut,"
"Aku tahu."
"Lalu?"
"Kita manusia, dan karena kita manusia."
"Kamu membalikkan omonganku tadi siang?"
"Menurutmu?"
"Iya,"
"Bukankah kita benar lucu, Daffa? Manusia itu lucu, Daffa. Kita terlalu pemaaf untuk hal-hal yang membuat kita kecewa, lalu, menagih hal yang sudah kita maafkan."
"Ini masih membahas mengenai kita?"
"Bukan. Masalah yang melibatkan masalah kita."
"Pergi berbenah dulu, aku tahu kamu masih mengenakan seragam."Sambungan terputus.
🍃🍃🍃
Salam,
Pinggir laut.

KAMU SEDANG MEMBACA
Kita
Ficțiune adolescențiBukan kisah Romeo atau Juliet, lagipula, bukan kisah seperti itu yang diinginkannya. Mencoba dan belajar untuk menjadi gadis yang normal dan sebisanya mungkin, walau rasanya sangat tidak mungkin. Masing-masing diri yang selalu berusaha menjadi kita...