Kaca jendela itu terbuka lebar. Sengaja tidak dikunci, ia ingin menikmati angin sore. Tidak ada aktivitas yang ia lakukan dihari meliburkan diri ini. Hanya duduk di bangku meja belajar miliknya yang menghadap ke arah jendela. Sedari pagi hanya itu-itu saja kegiatannya.
Audi yang memintanya untuk meliburkan diri hari ini. Beberapa panitia yang lain juga. Tapi Audi sendiri tidak, aneh memang gadis itu. Tapi Audi menjelaskan kepadanya, tidak semua panitia meliburkan diri. Mengingat acara pensi kemarin, tidak bisa lepas tanggung jawab saja selesai acara. Masih ada yang harus dibenahi. Dan katanya, jadwal meliburkan dirinya esok hari. Bergantian dengan panitia yang lain.
Hari ini yang ia rasakan masih sedikit sama dengan kemarin. Tidak begitu buruk, hanya saja ia tidak melakukan banyak aktivitas. Duduk, diam, menikmati cuaca hari ini, juga ditemani kopi buatan Bi Yaya.
Setelah kejadian kemarin, ia melepaskan sedikit kerinduan dengan mendiang ibunya lewat nyanyian di pensi, juga mengatakan perjalanan yang sudah ia lalui. Rasanya, pikulan yang selama ini berada dipunggung sedikit berkurang bebannya. Ey tersenyum. Mengingat kejadian kemarin yang ingin ia bekukan setiap detiknya.
Membagi ceritanya, tanpa harus orang lain menghakiminya. Melampiaskan duka yang selama ini ia bendung, tanpa harus orang lain paham sepenuhnya apa yang ia rasakan.
Ia pikir, ia hanya berhalusinasi jika ada yang seperti itu, tapi nyatanya memang nyata adanya. Benar-benar memang ada.
Tunggu sebentar. Ey menegakkan badannya. Ia kembali berpikir. Mengingat beberapa hari kebelakang yang ia lalui tanpa teman dekatnya.
Memang ada. Otaknya mencerna kalimat itu sendiri. Memang ada. Apa selama ini pikirannya sendiri yang memblokade kenyataan yang selalu menghampiri dirinya? Anjali dengan keterbukaannya, beberapa anak OSIS dengan keramahannya, dan siswa ataupun siswi yang kemarin menjadi bagian dari panitia untuk tampil dipanggung dengan kesopanannya. Ia memutar otak kembali. Bahkan, Maya sendiri?
Ia mendengus lemah. Badannya kembali roboh. Ia meletakkan kepalanya diatas meja dengan tumpuan lengannya. Otaknya masih berpikir, mengingat setiap kejadian yang ia lalui. Merasa sangat bersalah dengan itu.
Bagaimana rasanya? Ketika dunia seolah-olah menghukummu terus menerus dengan membuatmu berjarak dengan orang lain yang berada disekitarmu sendiri? Tapi nyatanya, dirimu sendiri yang menciptakan jarak itu sendiri.
Ey memejamkan matanya. Alisnya berkerut kuat. Masa-masa yang harusnya tidak seperti ini. Pikirannya yang membuatnya menjadi seperti ini. Dan bahkan masa lalunya yang membentuknya menjadi mahluk yang seharusnya tidak seperti ini. Dan ia baru disadarkan saat ini.
Ey memukul meja tersebut dengan kencang. Lalu menelungkupkan wajahnya. Ia menangis. Salah satu kebiasannya selalu. Menangis ketika beban pikiran sudah menghampiri. Walau ia tahu, tidak hanya dirinya, masing-masing orang akan seperti itu juga.
Terlalu banyak kutukan terhadap semesta yang sudah menghukumnya. Tapi lagi-lagi ia diberikan orang-orang yang masih mau menerimanya dengan tangan terbuka. Ia hanya bisa menangis, sesekali memukul dadanya ataupun meja tersebut.
Disadarkan oleh kenyataan bahwa dirinya lah pelaku sebenarnya. Ia lupa, kalau Daffa selalu mengingatkannya bahwa tidak semua mahluk tidak menerimanya dan tidak semua mahluk juga sama isi kepalanya. Ia lupa, ia lupa poin itu.
Lagi-lagi ia selalu mengutamakan ego dan isi pikirannya. Entah untuk kali ini semesta menyadarkannya lewat acara kemarin atau bagaimana. Tapi ia sungguh merasa bersyukur untuk itu.
![](https://img.wattpad.com/cover/155793667-288-k952652.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita
Teen FictionBukan kisah Romeo atau Juliet, lagipula, bukan kisah seperti itu yang diinginkannya. Mencoba dan belajar untuk menjadi gadis yang normal dan sebisanya mungkin, walau rasanya sangat tidak mungkin. Masing-masing diri yang selalu berusaha menjadi kita...