12. Singkat Cerita

28 2 0
                                    

Raut wajahnya sudah berubah. Seperti ada magnet yang sangat kuat untuk menarik seluruh energinya jika sudah mengarahkan kaki untuk pulang kerumah. Lain halnya dengan manusia yang tinggal di bumi, yang sudah lelah dengan hiruk-pikuk dunia dan ingin pulang. Mengistirahatkan segala yang sudah membuat lelah dan payah.

Sosok Ectya tidak bisa seperti itu, tapi sangat ingin juga bisa merasakannya. Pulang yang benar-benar pulang. Merasakan damai yang benar-benar damai jika sudah meletakkan kakinya pada sebuah bangunan yang disebut rumah.

Ia lelah. Sangat lelah. Lelah dengan isi kepala dan bahunya yang makin lama dirasa makin berat. Lelah dengan suara klakson dan kemacetan jalanan. Lelah dengan kenyataan bahwa hidup adalah pilihan, tapi nyatanya tuntutan yang diharuskan.

Ia masuk ke dalam kamarnya dan meletakkan tasnya pada kursi meja belajarnya. Melepasksn hoodie dan menjatuhkan badannya pada kasur. Memejamkan mata dan menikmati kacau yang ada dalam pikirannya. Ia lelah berpura-pura. Ia ingin jadi manusia yang manusia rasanya, tapi tolak lagi-lagi yang didapat.

Beberapa menit matanya memejam, ponselnya berbunyi. Ada notifikasi masuk. Ia meraih ponselnya dari kantung hoodie dan membaca pesan singkatnya. Ia membuang napasnya kasar. Ia sudah malas jika tentang ini yang selalu dikatakannya.

From : mama
Ey, mama lembur. Pulang larut. Kamu jangan lupa makan ya!

Ectya. Gadis pemikir itu tidak menyukai jika Maya berlarut-larut dalam pekerjaan yang digelutinya. Ia letih. Ia tahu betul. Tapi memaksakan diri, selalu. Dan segala kerja kerasnya hanya untuk dirinya, seorang diri.

Itu yang ia benci. Mati-matian menghidupi demi sesuap nasi tapi menomorduakan kesehatannya sendiri. Ia hanya takut, takut tidak bisa menjadi seperti apa yang Maya harapkan. Memang, Maya selama ini tidak pernah menuntutnya macam-macam. Faktor utama ia yang selalu merasa kurang nyaman jika sedang berhadapan dengan ibu asuhnya tersebut.

Tapi sungguh, ia berani jujur walau tak mengungkapkannya. Ia benar-benar tidak menyukai pekerjaan Maya yang lagi-lagi menyita waktunya. Itu menyakitkan. Ia takut. Dan untuk rasa takut sendiri ia benar-benar remedial dalam menghadapinya.

Ia bangun dari tempat ternyamannya. Beranjak menuju kamar mandi. Ia butuh napas untuk pikirannya yang masih asyik bertengkar. Ia keluar dari istananya dan menuju kamar mandi. Melewati anak tangga dengan langkah seperti biasanya, berat.

"Non, bibi sudah selesai masak, kalau mau makan bilang bibi saja, ya."

Ectya menoleh. Lalu tersenyum kecil, "iya, Bi Yaya. Makasih,"

Lalu ia masuk ke dalam kamar mandi. Bunyi air keran yang terbuka terdengar dari luar. Padahal sebelum ada yang mandi Bi Yaya selalu menyiapkan air didalam bak agar terisi penuh. Tapi Ectya tetap Ectya yang melakukan hal yang ia suka. Pikirnya, itu cuma masalah air keran, jangan dipusingkan. Pikirannya sudah berat dengan hiruk-pikuk semuanya, jangan ditambahkan.

🍃🍃🍃

Masih teruntuk seorang.
Seorang yang senyumnya bertahan untukku.
Seorang yang namanya dapat meredam semua penatku.
Seorang yang tawanya hanya aku yang tahu.
Panjang umur untuk hal-hal baik.
Untuk semua rasa lelahmu,
Untuk semua rasa penatmu,
Untuk semua rasa bencimu,
Maaf, aku tidak dapat menghiburmu dengan berhasil membawakan bulan.
Maaf, masih belum mampu menjadi dewi malam yang menemanimu digelapnya malam.
Maaf, untuk semua hal yang belum kukuasi.
Tapi terimakasih untuk segala hal yang sudah diizinkan.
Menjagamu.
Menyayangimu.
Menenangkanmu.
Menggenggam kepercayaanmu.
Aku hilang rasa untuk kata spesial.
Dan dipertemukan dengan manusia rumit sepertimu itu hadiah yang cukup baik bagiku.
Tetap hidup.
Kita akan pulang bersama.

-Pathya

Daffa menutup buku itu dan meletakkannya di meja beserta buku-buku lainnya. Ia sudah rapi daritadi. Pulang menemani nadinya, ia langsung bersih-bersih. Adiknya masih tidur pulas di kamarnya. Dan mungkin bangun tidur nanti jika perutnya lapar. Ia juga belum masak apapun. Baiklah, mari menjadi koki Daffa.

Kali ini ia tidak ingin masak nasi goreng lagi. Kasihan adiknya, nasi goreng sepertinya tidak pernah absen diantara mereka berdua.

Ia memutuskan untuk memasak sosis balado yang dicampur dengan saus pedas hasil racikannya. Menyibukkan diri dengan menjelma menjadi ibu, ayah, dan kakak bagi adiknya. Ia tahu, semesta memang kadang suka bergurau. Tapi kenyataan adanya, dijalani saja. Masa-masa berat itu sudah berlalu, belajar mengikhlaskan dan menerima keadaan. Baik-baik saja yang akan dirasakan.

"Kak Daffa.." sapa Daniel sambil mengucek sebelah matanya.

Daffa menoleh ke belakang. Tersenyum simpul. Adiknya tampak sangat menggemaskan jika sudah bangun tidur.

"Eh, sudah bangun?"

"Iya, bau masakan, jadi laper."

"Tunggu di depan ya, sebentar lagi selesai kok."

"Daniel bantuin bawa nasi, ya?"

Daffa tersenyum. Ia melanjutkan memasak sosis baladonya tersebut. Membolak-balik agar matangnya rata. Ia mematikan api kompor dan memindahkan makannya pada piring. Lalu membawanya pada adiknya.

"Sudah matang, ayo kita makan!"

Daniel sumringah. Ia menyambut lauk yang ada dengan antusias. Kakaknya tidak pernah mengecewakan dalam hal apapun. Termasuk memasak. Ia sudah memercayakan apapun sepenuhnya. Ia menyantap makannya dengan lahap.
T

ak lupa jempol kanannya selalu ia tunjukkan tanda setuju. Setuju untuk kesimpulan dari makanannya.

Daffa tersenyum. Ia pun turut menyendok lauk ala kadarnya. Menyantap makannya dengan melihat adiknya yang beruntung dapat menerima keadaannya. Membuatnya bahagia dan merasa aman ialah tanggungjawabnya. Karena selain Ectya nadinya, Daniel juga penggerak untuk hidupnya.

🍃🍃🍃

Salam,

Pinggir laut.

KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang