Sesekali isi kepalanya berisik, jika mengikhlaskan adalah hal yang sulit, lalu mengapa menerima adalah hal yang pelit? Mencoba berdamai, berujung ramai. Mencoba berani, yang lagi-lagi dilakukan berlari. Mencoba terarah, justru yang didapat rasa ingin menyerah.
Lebih banyak bingung dibanding baik, lebih banyak letih dibanding sehat, lebih banyak patah dibanding tak apa. Tidak tahu maunya apa, tapi apa salah jika yang sangat diinginkannya adalah damai?
Isi kepala berisik, tapi tidak pernah ada yang mengusik. Lagi-lagi dibuat heran dengan sikap diri sendiri. Tapi rasa-rasanya memang hari ini sedang menguras segala energi dalam tubuh.
Direbahkannya tubuh mungil itu di ranjang miliknya. Matanya terpejam, detak jam dinding miliknya terdengar cukup keras, tidak ada suara deru kendaraan satu pun yang lewat. Sepertinya memang waktu sedang berpihak pada dirinya untuk menikmati suasana hati dan isi kepala yang tidak satu suara.
"Ectya.." diiringi dengan suara ketukan pintu.
"Masuk, Ma."Dilihatnya Maya dengan wajah letih dan mata sayu tersebut, memaksakan senyuman terbaiknya untuk dirinya. Ey membalas senyum sekiranya. Lalu menggeser tubuhnya tanpa berniat untuk bangun dari posisi awalnya.
Maya menghampiri putrinya dengan senyuman yang masih belum lepas. Ia memilih untuk ikut merebahkan dirinya juga disamping putrinya tersebut. Keduanya sama-sama belum membuka suara. Mata dari keduanya juga menatap langit-langit yang diatasnya saja.
"Nak,"
"Ada apa, Ma? Hari ini capek, ya? Banyak kerjaan di kantor?"
"Kamu? Gimana ulangannya?"
"Baik,"
"Mama juga kalau gitu."Ada banyak masing-masing suara yang ingin disuarakan dari keduanya. Bingung harus memulai darimana opsi pertamanya. Namun, salah satu diantara keduanya harus berani memaksakan diri untuk menerobos dinding yang sudah terlanjur menjulang terlalu tinggi itu.
"Ma, apa setiap bayi yang lahir ke dunia ini pernah punya perasaan menyesal dilahirkan?"
Maya diam tak bergeming. Raut wajahnya memperlihatkan bahwa ia mencoba untuk tidak terkejut akan pertanyaan yang baru saja keluar dari mulut putri kecilnya itu.
"Apa kamu salah satu bayi itu, Ey?"
Kini, giliran Ectya yang bingung harus mengatakan apa. Untuk pertama kalinya, ia mengutarakan apa yang selama ini berisik di kepalanya. Pelan tapi pasti. Akan tetapi jika sudah disituasi seperti ini, ia jadi bingung ingin menjawabnya.
"Jawab jujur saja, mama nggak akan marah."
"Kadang.."Maya tersenyum mendengarnya. Ia memakluminya. Putrinya sudah dewasa, pelan-pelan ia banyak belajar tentang dunia sekitarnya yang baru. Belajar beradaptasi dengan sesuatu hal yang benar-benar belum pernah terpikirkan olehnya.
"Semua bayi yang dilahirkan selalu disyukuri kelahirannya, Ey."
"Lalu bagaimana dengan bayi yang baru lahir harus kembali pulang? Bayi yang sering dijumpai di acara berita ditemukan ditempat yang tidak seharusnya? Bahkan bayi yang dipaksa untuk pulang?"
"Perginya akan disayangi, dengan atau tanpa ada ikatan darah."Ey diam. Mungkin Maya benar. Atau memang benar adanya. Tidak harus dan mesti ada ikatan darah untuk menyayangi sesuatu hal yang pergi. Selalu ada rasa syukur disetiap selipan doa bagi siapapun yang bersyukur.
"Ey pun, begitu, Ma?"
"Maksudmu?"
"Apa ayah Ey, yang pernah diceritakan itu, bersyukur Ey lahir? Tapi, kenapa tidak ada sepucuk surat ataupun kabar dimana keberadaannya, Ma?"Maya merasa sesak mendengarnya. Iya mencoba untuk menahan air matanya agar tidak jatuh. Ia pikir, Ey sudah benar-benar tidak ingin memusingkan siapa ayahnya dan bagaimana dia sekarang. Karena kejadian yang lampau membentuk dirinya perlahan-lahan.
"Ma?"
"Mama tidak tahu pasti, tapi yang pernah mama dengar ceritanya dari Kak Dewi-mu itu, ayahmu pulang ke negara asalnya. Ia memilih tinggal bersama keluarga kecilnya."Ey diam. Matanya memanas. Sedikit sesak yang ia rasakan. Namun ia ingat, ia sudah berjanji kepada dirinya untuk menerima apapun yang ia dengar dengan lapang dada dan rasa ikhlas yang luas.
"Kamu tahu, Ey. Apa alasan kuat mama untuk meminta kamu yang menjadi peri kecil mama? Karena cerita ibumu yang nyaris sama seperti mama. Mama tersenyum ketika melihat kamu untuk pertama kalinya. Kamu yang banyak sekali tingkahnya dengan teman-temanmu di panti. Mama meminta kamu, karena mama merasa bahwa mama juga turut memiliki tanggungjawab atas kebahagiaanmu nanti. Mama siap untuk menggantikan posisi asuh mendiang ibumu, Ey."
Yang ditahan akhirnya terlepas. Air mata Maya turun mengalir deras. Dadanya naik turun merasakan sesak yang mendalam. Mungkin ini waktunya untuk mengutarakan sepenggal kisah yang sudah terbungkus dalam ingatan.
Ey memiringkan posisi badannya dan memeluk Maya untuk menenangkannya. Dia hanya diam saja untuk mendengarkan apa yang terjadi pada saat-saat belum ada dirinya di bumi.
"Namanya Leo, kita memiliki hubungan saat masih kuliah. Sampai akhirnya, tak lama setelah kita sama-sama wisuda, kita memutuskan untuk menikah. Sudah lebih dari tiga tahun usia pernikahan kita, tetapi belum juga dikaruniai seorang anak, Ey. Mama tidak tahu, kita sudah sering kontrol dan dokter mengatakan juga baik-baik saja. Tapi ternyata Leo bukan seorang manusia yang sabar. Kita selesai saat mama tahu ternyata Leo memiliki istri lain yang katanya sedang mengandung."
Maya mengambil jeda sebentar. Air matanya masih terus mengalir deras. Ey masih bertahan sambil terus mengelus tangan Maya untuk memberikan kenyamanan dan menenangkannya.
"Tak lama dari situ, akhirnya mama memutuskan untuk mengadopsi seorang anak. Untuk menjadi teman mama di rumah. Menjadi teman cerita ataupun teman berbagi kisah."
Mendengar kalimat yang baru saja keluar dari mulut Maya, ia merasa tertohok. Menyesali setiap perilaku yang ia berikan kepada orang-orang di rumah. Selalu mengutuk apa yang seharusnya ia syukuri.
"Tapi mama salah, mama terlalu berekspektasi atas apa yang sudah mama lakukan. Mama terlalu berharap tinggi akan hal-hal yang menyangkut dirimu, Ey. Mama lupa, mama lupa kalau kamu tumbuh dengan banyak luka juga yang kamu emban sendirian."
Kini, giliran air mata Ey yang mengalir. Maya tidak pernah egois, Maya selalu memikirkan tentang dirinya, Maya selalu berusaha lebih untuk dirinya. Namun lagi-lagi selalu ia acuhkan.
"Setiap perubahan yang terjadi sama kamu, setiap pertumbuhan yang cepat didiri kamu, dan setiap rasa yang selalu kamu miliki, mama lupa kalau itu tanggungjawab dan campur tangan mama. Mama sayang kamu, Ey."
Ey tidak dapat menahanya lagi. Ia segera menghamburkan pelukan ke arah Maya dan menangis meluapkan semuanya. Maya pun membalas pelukan tersebut dengan hati yang lapang. Lega akan hal yang selama ini ia tutupi dapat dibagi dengan putri kecilnya yang sangat ia sayangi.
Ey memuaskan diri dengan menumpahkan apa yang sudah ia tahan sejak tadi. Isi kepala yang berisik pelan-pelan sunyi dan tenang. Perasaan yang kacau kini telah menjadi damai. Jiwa yang lelah kini berubah menjadi aman.
Terkadang, luka yang didapat diobati dari hal yang didapat pula. Mungkin bisa disebut penawar. Tapi semoga ini dapat bertahan lama.
🍃🍃🍃
Salam,
Pinggir laut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita
Подростковая литератураBukan kisah Romeo atau Juliet, lagipula, bukan kisah seperti itu yang diinginkannya. Mencoba dan belajar untuk menjadi gadis yang normal dan sebisanya mungkin, walau rasanya sangat tidak mungkin. Masing-masing diri yang selalu berusaha menjadi kita...