"Gagal lagi aja,"
Laki-laki itu tersenyum. Dibalasnya hanya sebuah senyuman saja. Entah apa isi kepalanya sekarang. Sering terbesit dalam pikirannya, apakah ia tidak pernah lelah dan jengah selalu mendengarkan keluhannya saja? Sedang ia, jarang sekali membagi isi hariannya.
"Nanti coba lagi, gagal bagian dari proses, kamu sering dengar itu, kan?"
"Nggak bisa diskip aja?"
"Memangnya apa?"
"Ini, hidupku."
"Lalu aku ditinggal sendirian?"
"Kamu ikut aku saja,"
"Nggak, aku disini. Tetap disini."
"Kenapa?"
"Jaga-jaga, takut kamu keburu nggak betah terus minta jemput."
"Daffa!"
"Hahaha.."Ey tersenyum. Mengingat masa-masa bersama dengan lelaki berwajah kaku tersebut. Kaku untuk berekspresi tentang dirinya. Setidaknya itu yang ia nilai dari seorang Daffa.
Seumur hidupnya, ia tidak pernah mengenal lebih jauh dan dalam tentang makna perasaan yang sebenarnya. Tentang dua orang yang memiliki rasa yang sama dan bisa terikat satu sama lain. Ia tidak pernah mengerti dan melampaui hal tersebut. Itu terlalu jauh untuk ia jamah. Juga terlalu rumit untuk ia artikan.
Daffa baginya menjadi sosok teman yang merangkap menjadi awan kecil yang meneduhkannya. Menjadi tempat untuk berpulang ketika rumah bukan jadi solusi yang tepat. Menjadi sejuk ketika api sedang menguasainya.
Dan untuk perasaannya sendiri, entahlah. Ia bingung. Sedikit ragu namun lebih banyak takut. Ia menyukai lelaki itu, selalu dan sangat. Menyukai layaknya seorang teman biasa. Namun, ia juga lupa kalau Daffa sejatinya lelaki pertama yang menjadi temannya. Memiliki perasaan lebih untuknya, ia juga tidak dapat menyimpulkan. Hanya satu yang ia rasakan, ia tidak mau kehilangan sosoknya.
Menuju kelas akhir membuatnya memikirkan banyak ke depan. Tentunya, bukan bagaimana ia dan akan jadi apa seorang perempuan rumit ini akan menjadi. Namun, perpisahan seperti apa yang akan ia hadapi nanti.
Ia masih belum tahu, apa rencana tuan yang mengaku bahwa dirinya ialah nadinya. Akan kemana dan menuju kemana, berlabuh kemana atau mendarat kemana. Ia sama sekali belum tahu. Melanjutkan pendidikan itu sudah pasti akan ia jalani, karena permintaan dari Maya sendiri, bukan keinginan dirinya. Namun, Daffa?
"Ey!"
Yang dipanggil hanya berdecak kesal. Lalu melirik tajam kearah sumber suara tersebut.
"Pinjam pulpen."
"Lo nggak punya?"
"Di tas, lupa ambil, pinjam sebentar buat tanda tangan."Ey memberikan pulpen ke anak laki-laki yang berada disamping tanpa menoleh kearahnya. Matanya fokus pada layar laptop dihadapannya, namun isi kepalanya pergi jauh berkelana.
"Nih, tanda tangan." Katanya sambil menyerahkan sehelai kertas, "thank's pulpennya."
"Hmm."
"Ectya!"Ey berdecak kesal lagi. Laki-laki disampingnya ini, yang katanya menjadi salah satu pria yang disukai banyak wanita di sekolah, hanya seorang perusuh di matanya.
"Bisa diam nggak sih mulut lo?"
"Galak banget."
"Semerdeka lo, Den."
"Ujian ini, Ectya. Lo melamun mulu,"
"Selama nggak buat lo rugi, kayaknya bukan masalah."
"Ectya, gue cuma-"
"Dendra, kita nggak pernah akrab sebelumnya, jangan sok peduli. Gue nggak pernah ganggu lo, please, jangan ganggu gue selama pekan ujian ini."Ey bangkit dari duduknya dan izin untuk ke toilet. Jengah mendengar suara berisik dari bangku sebelahnya. Pekan ujian sudah dimulai dan ini baru hari pertama serta mata pelajaran pertama, namun sudah kacau karena seorang yang sama sekali tidak pernah ia sentuh sedikit pun.

KAMU SEDANG MEMBACA
Kita
Teen FictionBukan kisah Romeo atau Juliet, lagipula, bukan kisah seperti itu yang diinginkannya. Mencoba dan belajar untuk menjadi gadis yang normal dan sebisanya mungkin, walau rasanya sangat tidak mungkin. Masing-masing diri yang selalu berusaha menjadi kita...