Dilihatnya jam yang menunjukkan pukul dua dini hari. Sangat menyebalkan. Esok masih sekolah dan justru malah terbangun. Mencoba untuk tidur kembali pasti sulit rasanya. Baiklah, tidak apa rasanya kalau terjaga selama beberapa jam kedepan.
Ia berjalan menuju buku favoritnya yang disimpan di meja belajarnya, berbaris rapi dengan buku yang lainnya. Tersenyum kecil ketika melihatnya. Sudah lama ia tidak menceritakan kejadian yang telah dilewatkannya saat ini. Membuka halaman demi halaman, setiap tulisan masih sama. Hanya isiannya kelabu dan terukir jelas tinta biru. Menyedihkan untuk takaran pembaca selain dirinya.
Bagaimana?
Dan nyatanya ini jawabannya.
Ternyata, tidak setiap pulang menjanjikan kedamaian.
Tidak setiap bertemu menjanjikan kenyamanan.
Bahkan, tidak setiap perpisahan menjanjikan kenangan.
Usai yang belum selesai, tapi masih berantai.
Siapanya, sungguh, jangan ragukan diriku.-Si Perindu
Lelah. Sungguh. Dunia yang ramai, kota yang kian hari kian sesak, kendaraan yang tidak mau mengalah, isi kepala yang tidak mau diajak berdiskusi, batin yang terus meminta berhenti. Sungguh. Ia meragukan makna hidup.
Begini rasanya. Dibolehkan bersua, tapi nyatanya bungkam lebih menjanjikan. Diizinkan mengomentari, tapi rasanya berdiam diri lebih aman. Diberi kesempatan untuk mengatakan, tapi nyatanya tersenyum merelakan lebih melegakan. Aneh. Tapi inilah manusia. Manusia sepertinya.
Perihal manusia menyebalkan saat siang tadi disekolah membuatnya terbayang, bagaimana mungkin anak sepertinya bisa dikenal? Manusia lain boleh mengatakan tidak ada yang tidak mungkin selagi yakin, tapi sungguh, isi kepalanya tidak pernah yakin akan menjadi mungkin. Ia selalu mematahkan opini itu.
Apa Daffa sudah tahu siapa manusia menyebalkan itu? Apa lebih baik untuk tidak diberitahu? Tapi sulit rasanya untuk berbohong kepadanya. Mungkin pelan-pelan ia akan membuka suara siapa manusia menyebalkan tersebut. Untuk berjaga-jaga kedepannya nanti. Walaupun entah berjaga-jaga untuk apa.
Matanya semakin segar dengan pikiran yang masih kemana-mana. Tumpukan buku-buku koleksinya juga sedang tidak ia minati. Tugas-tugas sudah beres ia kerjakan, bingung harus melakukan apa sampai beberapa jam kedepan. Dilihatnya jam, kegiatan kecilnya baru menghabiskan waktu lima belas menit?
Ia berjalan menuju tempat tidurnya, duduk, dan membuka handphone miliknya. Ada satu pesan yang masuk beberapa jam yang lalu, nomor tidak dikenal, menyapa dirinya saja.
From: Nomor Tidak Dikenal
EctyaBuruk. Benar-benar buruk. Ia sama sekali tidak pernah menyebarkan nomornya kepada siapapun terkecuali orang terdekatnya, bahkan grup kelas sekalipun. Masa bodo pikirnya, itu tidak terlalu penting juga baginya.
Ia mengambil laptopnya yang ia letakkan diatas nakas samping tempat tidurnya. Membuka laptop dan masuk kedalam blog miliknya. Sudah lama tidak membukanya, makin lama ia juga makin tidak berselera untuk menuangkan kalimat-kalimat yang ia lampiaskan, apa memang sudah waktunya ia sudahi saja?
Ia hanya membaca tulisan-tulisan yang ia tuangkan saja, tersenyum ketika membacanya kembali, ternyata dirinya pernah diposisi itu, seketika ia menjadi malu ketika tulisannya dirasa terlalu berlebih untuk ketakutan yang pernah ia lewati. Dan sedikit merasakan kembali semua rasa jatuh dibeberapa tulisan yang ia tuangkan.
Waktu awal-awal menginjak kelas sebelas, dirinya dipergoki oleh Mesi yang tahu akan blog miliknya. Sepanjang sekolah Mesi memaksa dirinya untuk pergi mengunjungi ahli jiwa. Sungguh. Ey hanya bergumam saja membalas setiap perkataannya.
"Beneran deh, Ey. Gue siap kapan aja kalo lo mau minta ditemenin."
"Hm.."
"Kapan? Mau pulang sekolah langsung?"
"Hm.."
"Serius deh, gue takut lo kenapa-kenapa, Ey. Apa sore aja? Apa mau kapan?"
"Hm.."Bella yang jengah menatap nanar Mesi yang belum ada tanda-tanda ingin berhenti berbicara.
"Berisik deh lo, Mes!"
"Kepala lo ngejengkang! Temen lo lagi nggak baik-baik aja ini, Bel. Care sedikit kek," sungut Mesi.Ey melirik kearah Mesi dengan kekehan kecil. Ya, Mesi memang menyebalkan, berisik, dan selalu tak acuh akan omongan yang sudah keluar dari mulutnya. Namun, ia akan menjadi orang yang siap menopang apa yang dilihatnya kurang.
Tapi jika ia pikirkan omongan Mesi, ada benarnya. Sejak kejadian itu dan sampai sekarang, ia memang berniat untuk mengunjungi psikolog ataupun psikiater. Tapi ia masih ragu, masih bingung, masih bimbang apa yang akan nanti ia hadapi.
Ia tahu, ia harusnya tidak egois untuk selalu mengatakan kepada dirinya sendiri kalau nanti ia akan baik-baik saja. Tapi pelan-pelan ia juga berusaha untuk berusaha semampunya.
Melampiaskan yang sedang ia rasakan lewat tulisannya. Menceritakan rasa penatnya dengan Daffa ataupun Audi. Juga pergi ke toko buku. Sungguh. Ingin sembuh rasanya, namun ketakutan masih selalu menyelimuti dirinya.
Notifikasi handphone-nya berbunyi, menandakan pesan masuk lagi. Ia menegakkan badannya dan meraih benda pipih tersebut.
Matanya membulat sempurna. Dibacanya nama tersebut lekat-lekat. Tapi tunggu. Bagaimana mungkin waktunya bisa tepat seperti ini. Januar mengirimi pesan bersamaan dengan dirinya yang terbangun dari tidur? Januar tidak memiliki indra keenam bukan?
From: Nomor Tidak Dikenal
Ini Januar.Oh semesta! Kenapa harus dia lagi orangnya? Sungguh bercandamu sangat amat tidak lucu. Bagaimana mungkin Januar mendapatkan nomor dirinya? Mahluk apa dia sebenarnya?
From: Nomor Tidak Diketahui
Bales dong, gue senior juga.Sekalipun anak raja memang peduli? Ya untuk tidak. Sama sekali tidak.
From: Nomor Tidak Dikenal
Inikan menjelang pagi ya, pasti lo tidur ini.Tidak akan ia membuka room chat tersebut apalagi membalasnya. Untuk apa?
From: Nomor Tidak Dikenal
Gue kebangun. Gue kira pesan gue udah lo bales, belom ternyata. Sombong deh.Apa katanya? Sombong? Tidak salah baca, kan dirinya? Lalu apa ia peduli dengan kondisi Januar? Menyebalkan.
From: Nomor Tidak Dikenal
Pas lo baca pesan ini, yang pertama lo harus percaya adalah, cuma lo satu-satunya junior yang gue ijinin untuk semena-mena.Apa? Siapa memang dirinya? Cucu kepala sekolah? Anak pemilik yayasan? Murid kesayangan guru? Benar-benar meragukan untuk itu. Sekali menyebalkan akan begitu seterusnya.
From: Nomor Tidak Dikenal
Btw, mama lo ramah juga ternyata (:Kali ini ia tercekat. Bagaimana mungkin? Mama? Ia sudah bertemu? Atau justru sudah kenal? Senekat itu? Maunya apa Ya Tuhan mahluk seperti itu? Berurusan dengan penduduk bumi saja sudah merepotkan baginya, ditambah Januar apa benar-benar tidak ada toleransi untuk hirupan napasnya?
Mama, baiklah. Ia akan mencoba untuk kepastian yang meragukan ini. Lagipula, kenapa bisa-bisanya bumi ini ada mahluk seperti dirinya. Sungguh, melihat wajahnya yang menyebalkan saja sudah membuatnya malas duluan.
Semesta, harus apa?
🍃🍃🍃
Salam,
Pinggir laut.

KAMU SEDANG MEMBACA
Kita
TienerfictieBukan kisah Romeo atau Juliet, lagipula, bukan kisah seperti itu yang diinginkannya. Mencoba dan belajar untuk menjadi gadis yang normal dan sebisanya mungkin, walau rasanya sangat tidak mungkin. Masing-masing diri yang selalu berusaha menjadi kita...