11. Kopi, Kamu, Pahit.

30 3 0
                                    

Mencari bukunya sudah selesai. Kini, mereka berdua yang entah bisa dibilang sepasang atau hanya sebatas teman itu sedang duduk sambil melihat menu makanan yang tersaji diatas meja keduanya.

Ectya membuang napas kasar, sama sekali ia tidak tertarik dengan makanan yang ada di menu. Menurutnya, mahluk bumi seperti dirinya cukup aneh. Tidak begitu menyukai makanan yang dijual seperti di tempat seperti ini. Ramai, penuh kunjungan orang-orang. Cita rasa dari makanannya seperti ada yang hilang.

"Mau minum aja?" Tanya Daffa, sudah tahu kalau Ey tidak begitu menyukai makan di tempat yang ramai seperti ini.

Pernah suatu hari, ia dan Ey pergi membeli beberapa bunga, Daffa tidak tahu untuk apa. Selepas dari situ, ia pergi ke tempat makan cepat saji. Daffa memesan makanan, namun, tak dimakan olehnya. Ia juga pernah bertanya, apa bedanya makan di kantin? Karena sering juga ia dan ketiga teman perempuannya makan di kantin.

"Kan sama-sama tempat umum, Ey. Sama-sama ramai."

Ey tersenyum kecil dan menggeleng. Benar-benar tak menyentuh makanan yang ada dihadapannya itu.

"Beda,"
"Dimana letak bedanya?"
"Kantin sekolah itu aku tahu siapa mereka. Aku merasa masih baik-baik saja untuk makan, sedangkan disini.."

Daffa paham. Dia dapat memaklumi apa yang dirasakan Ey. Dan ia tidak ingin mempertanyakannya lagi.

Ey yang benar-benar tidak ada nafsu makan hanya menganggukkan kepalanya saja. Daffa pun ikut membalas menganggukkan kepalanya. Lalu melambaikan tangan, tak lama pelayan pun menghampiri.


"Mau pesan apa?" Kata pelayan laki-laki itu dengan ramah.

"Americano satu sama.. Ey, kamu apa?"

"Samain aja,"

"Panas atau dingin?"


"Panas!" Seru keduanya, mereka berdua menoleh, lalu tersenyum kecil karena hal sepele seperti itu.

Pelayan laki-laki yang melihat kejadian seperti itu tersenyum kecil. Dimakluminya dua anak manusia yang sedang bersama.

"Ditunggu ya kak," katanya pamit.

Ectya memindahkan pandangan kesekitarnya. Cukup ramai. Bukan dia dan Daffa saja yang berseragam, dilihatnya beberapa anak yang menggunakan seragam juga ada yang berlalu-lalang.

Dan Daffa. Benar, ia kena tegur satpam yang berjaga. Akhirnya, ia memutuskan untuk melepas kemeja putihnya dan hanya mengenakan kaus berwarna hitam yang ia pakai dibalik kemejanya.

Bosan, ia menjatuhkan matanya pada buku yang ia beli tadi. Mengeluarkannya dari kantung plastiknya. Tersenyum kecil dan membuka plastik yang membungkus buku tersebut. Membuka perlembar buku dengan acak, sesekali mencium aroma buku yang baru lepas dari segelnya tersebut.

Dan tentunya, bagian favoritnya dari setiap buku ialah kata pengantar. Dibukanya kata pengantar dibuku tersebut, ia selalu senang dengan setiap kata pengantar yang tertulis. Seakan ucapan tulus ataupun hal yang tak sempat dikatakan secara langsung, tapi dapat diabadikan dalam sebuah mahakarya.

KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang