Audi mondar-mandir di kamarnya sejak tadi. Ey belum membalas pesannya, teleponnya juga tidak diangkat, padahal ia harus cepat-cepat mengabari Rega untuk keputusan Ey.
Sebenarnya, tidak masalah dan tidak apa jika Ey menolak untuk tampil diacara pensi nanti. Tapi baginya, ini kesempatan Ey untuk menunjukkan ke yang lain kalau Ey memiliki sisi yang berbeda juga. Tidak melulu dengan Ey yang diam dan dingin.
Bunyi notifikasi masuk. Ia cepat-cepat meraih benda pipih tersebut dan melihatnya. Rega, lagi. Ia masih menanyai bagaimana keputusan Ey untuk pensi nanti. Karena seharusnya segala urusan pensi sudah rampung karena mengingat acara yang minggu depan sudah terlaksana.
Buru-buru ia mengetikan pesan untuk meminta Rega bersabar lagi menunggu. Ia tahu, sebenarnya ini keputusan yang tidak mudah untuk Ey sendiri, mengingat temannya itu yang sangat tertutup, terlebih untuk dunia luar. Namun, jika Daffa dapat membantunya untuk kali ini, iya yakin jika Ey akan mempertimbangkannya.
Disimpan benda pipih tersebut di atas kasurnya. Ia sejenak merapikan kamarnya yang akhir-akhir cukup berantakan karena ia sering pulang larut. Dilihatnya jam sudah menunjukkan pukul sepuluh kurang. Ey bukan anak insomnia, jam-jam seperti ini biasanya ia bisa saja sudah terlelap. Audi mendengus pasrah. Sepertinya tidak akan ada Ey di panggung nanti.
drt... drt... drt...
Audi menoleh, ada panggilan masuk. Buru-buru ia mengambil handphone-nya. Matanya membulat saat nama Ey tertera disana.
"Halo, Ey? Ya ampun, aku nungguin kamu daritadi."
"..."
"Nggak masalah, jadi, bagaimana? Aku harap kamu mau,"
"..."
"Belum bertemu Daffa memang?"
"..."
"Lalu?"
"..."Kalimat terakhir itu membuat dirinya ingin berteriak senang. Sungguh. Ia senang sekaligus bersyukur. Memang sangat singkat. Namun ia dapat memahami maksud perkataan itu.
Perubahan memang pasti ada dan nyata. Entah dimulai dari diri sendiri atau melalui bantuan orang lain. Tapi baginya, semoga saja ini awal dari perubahan menuju baik dan tenang untuk gadis berambut pirang tersebut.
🍃🍃🍃
Ey menatap jam dinding kamarnya. Sedari tadi kegiatannya hanya itu saja. Ia belum mengabari Audi untuk keputusannya. Daritadi Audi menghubunginya, namun sengaja ia tak angkat. Obrolannya dengan Daffa saat dimotor tadi juga terkesan untuk memintanya mengiyakan permintaan Audi.
Entahlah, ia hanya tidak yakin. Ragu untuk menunjukkannya. Beberapa yang lain mengenalnya hanya seorang gadis pendiam dan selalu tertutup.
Yang mereka lihat langsung mereka nilai. Sebenarnya, ia juga tidak mempermasalahkannya. Tapi tak dapat ia pungkiri, ia juga muak jika sudah ada yang menghakiminya tanpa mengenal lebih jauh bagaimana dirinya.
Ia memang memiliki perasaan yang tidak ingin ia tunjukkan kepada orang lain dan orang lain juga tidak perlu tahu akan hal itu. Karena pikirnya, bukankah mereka sudah menilai duluan tanpa harus mengetahui lebih lanjut? Untuk apa repot-repot menunjukkan atau bahkan memberitahu lagi?
Lagipula, ia merasa kemampuan yang ia punya dengan perangai yang ia miliki sepertinya tidak sinkron, ia semakin ragu untuk mengiyakan permintaan Audi.
Akan tetapi jika ia ingat obrolannya dengan Daffa saat pulang sekolah tadi dan mengajukan perkataan seperti itu, ia hanya dapat senyuman. Ah, Daffa. Laki-laki itu selalu bisa memberinya ketenangan walau hanya sebatas senyuman.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita
Teen FictionBukan kisah Romeo atau Juliet, lagipula, bukan kisah seperti itu yang diinginkannya. Mencoba dan belajar untuk menjadi gadis yang normal dan sebisanya mungkin, walau rasanya sangat tidak mungkin. Masing-masing diri yang selalu berusaha menjadi kita...