"ya? Mau ya?" Rengek Ey terus menerus.
"Gak bisa, Ectya. Aku ada rapat OSIS sama pembina buat ngomongin masalah pensi nanti," jelas Audi.
"Memang gak bisa izin?"
"Kamu sendiri? Memang gak bisa besok?"
"Tapi maunya sekarang,"
"Ya sudah, aku kan tidak bisanya sekarang. Besok ku temani."
"Gak perlu,"
"Kenapa? Tadi maksa,"
"Mau coba ajak Mesi atau Bella," katanya sambil berjalan meninggalkan Audi.Ey tidak satu kelas dengan Audi, ia hanya satu kelas dengan Mesi dan Bella. Sedangkan Audi satu kelas dengan Daffa. Teman lelaki pertama Ey disekolah ini.
Satu persatu, Daffa. Daffa Pathya Almussa, tidak terkenal, tidak begitu tampan, sungguh, sama sekali tidak. Ia hanya lelaki biasa yang berteman baik dengan seorang gadis bernama Ectya.
Di awali dari hari pertama masuk sekolah. MOS sudah berada di pelupuk mata. Bayangan aksi senior sudah terbayang di pikiran masing-masing. Dan kesiapan mental serta fisik harus disiapkan matang-matang.
Adalah Daffa, lelaki yang pertama kali memperkenalkan dirinya dan ingin berteman baik dengan sosok Ectya. Itu saja, tidak ada niatan apa-apa baginya. Dan sampai sekarang, pertemanan itu masih terjalin dengan baik, walaupun ada rasa yang seharusnya tidak dirasakan. Sepertinya.
Sedangkan dua orang temannya yang satu kelas dengannya; Mesi dan Bella, karena duduk berdekatan dengan Ey. Bangku depan dan samping. Sedangkan Audi, ialah teman SMP Bella.
"Ectya kenapa?" Tanya seorang lelaki yang baru masuk ke kelas dan duduk di belakang Audi.
"Biasa,"
"Gak ada temen lagi?"
"Iya,"
"Kenapa gak mau temenin?"
"Bukan gak mau, tapi aku ada rapat OSIS,"
"Terus? Mau kemana lagi dia? Ajak Mesi atau Bella?"
"Gak yakin juga Mesi atau Bella mau menemani, karena lusa lalu kan sudah pergi kesana. Kau temani sana Daf, kan kau juga temannya, bukan aku, Mesi atau Bella saja."
"Urusanku itu,"Audi hanya mengangkat bahu, lalu membalikkan badannya menghadap ke arah papan tulis.
Sebenarnya, ia juga tidak mengerti pertemanan Ectya dan Daffa. Terlalu rumit, tidak bisa diartikan apa-apa. Mereka berteman, tapi terkadang seakan ada jarak penghalang yang menjauhkan keduanya walaupun mereka berdua berdekatan. Dan anehnya mereka berteman, seakan ada sesuatu yang keduanya selalu mati-matian untuk disembunyikan. Entah tujuannya apa.
🍃🍃🍃
"Gak bisa gue," kata Mesi.
"Sama," disusul Bella.
"Lagi pula, kemarin lusa sudah kesana," Mesi menambahkan.Ey hanya mendengus pasrah. Mau tak mau, ia pergi sendiri ke tempat yang setidaknya membuatnya tenang dan nyaman. Melihat tumpukan buku tersusun rapi dan semilir udara dingin. Setidaknya dalam hidupnya, ia merasa damai walau sebentar.
Beberapa jam berlalu, bel istirahat sudah berbunyi beberapa menit yang lalu. Dan saat ini mereka berempat sedang menyantap makanan dihadapannya. Terkecuali Ey, yang menyantap dengan wajah yang ditekuk lesu.
"Kenyang, ke kelas duluan ya," pamit Ey lalu meninggalkan selembar uang yang ia letakkan di bawah mangkuk mie ayamnya.
Mereka bertiga sudah tahu, gelagat Ey yang seperti itu tidak perlu dipikirkan. Gadis yang rumit jalan pikirannya, tidak dapat ditebak kepribadiannya. Jadi, jika Ectya sedang seperti itu merelakan bertiga memilih untuk membiarkannya saja, biar saja delusi otaknya bekerja seperti apa maunya.
Bel yang dirindukan suaranya sudah berbunyi. Dengan semangat para murid merapikan buku-buku yang bertengger setia di atas meja.
Lagi-lagi Ey. Dengan enggan dan malas. Bukannya tidak terbiasa apalagi takut jika pergi ke toko buku seorang diri, ia hanya malas saja. Seperti orang yang kehilangan arah jika pergi seorang diri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita
Подростковая литератураBukan kisah Romeo atau Juliet, lagipula, bukan kisah seperti itu yang diinginkannya. Mencoba dan belajar untuk menjadi gadis yang normal dan sebisanya mungkin, walau rasanya sangat tidak mungkin. Masing-masing diri yang selalu berusaha menjadi kita...