21. Berdamai

38 3 1
                                    

"Kayak maghrib,"
"Coba kamu ngomong sekali lagi,"
"Kayak maghrib?"
"Ngeselin,"
"Lho? Tadi disuruh ngomong sekali lagi?"
"Kan memang maghrib, Ey.."

Ah, lagi-lagi momentum dengan Daffa yang diingatnya. Sungguh, ia benar-benar merindukan laki-laki itu saat ini.

Ponselnya terus bergetar tanda notifikasi masuk. Dilihatnya dari Januar. Malas untuk membalas, membacanya pun juga enggan. Ia tidak ingin Januar saat ini.

Kelas sepi. Padahal sebelum berpisah dengan Bella, katanya anak-anak tidak kemana-mana. Sesampainya ia di kelas dan duduk di bangkunya, hanya ada satu murid saja yang didalam kelas. Ah, Katya. Si gadis lugu tapi sebelas dua belas dengan Mesi menyebalkannya. Ia sedang membaca novel dengan kacamata yang bertengger di hidungnya.

"Kate, yang lain kemana?"

Katya mengangkat wajahnya sambil membenarkan posisi kacamatanya, "siapa?"
"Anak kelas,"
"Keluar,"

Ey mendengus kasar. Katya terlalu lugu atau bagaimana, sih? Apa ia benar-benar tidak paham dengan maksud kalimatnya?

"Iya, kemana? Kok cuma lo doang, barangkali lo tahu,"
"Nggak tahu, tuh."
"Mesi sama Bella?"
"Mungkin keluar."
"Ya kalau nggak ada di kelas, keluar namaya, Katya. Bukan mungkin lagi."

Sudah cukup. Malas berurusan dengan anak seperti Katya baginya. Ia melangkahkan kakinya keluar kelas menuju toilet. Ingin membasuh wajahnya. Rasa kantuk sedikit menyerangnya, namun ia sedang tidak ingin tidur. Malas saja tidur di sekolah. Lagipula, itu bukan tipe dirinya.

Usai membasuh wajahnya, ia menatap wajah sendu itu di cermin. Lalu mengambil tali rambut dan menguncir rambut pirangnya. Sebenarnya, ingin ia cat hitam warna rambutnya. Namun tidak dapat izin dari sang mama. Pirangnya juga sebenarnya dapat ditolerir karena keturunan. Dan warnanya pun tidak begitu mengganggu, hanya saja beberapa yang baru melihatnya menganggap Ey adalah gadis yang banyak gaya.

Ey menatap gadis cantik itu di cermin, sedang berjalan dibelakangnya. Bersebelahan dengannya sambil tersenyum ramah. Ia kini sedang mencuci tangannya.

"Lo cantik kalau dikuncir,"
"Gerah,"
"Oiya, tadi gue ketemu Daffa di kantin. Dia nanyain lo, coba lo temuin."

Ey membuang napasnya kasar. Ia jadi tidak enak hati. Terlebih kejadian beberapa waktu itu cukup membuat keduanya seperti sedang perang dingin.

"Dey, perihal di koridor waktu itu-"
"Gue paham, gue sadar sekarang, gue salah waktu itu. Gue cuma sekedar obses ternyata, Ey. Setelah lo bilang waktu itu, gue ngerti, kalau gue yang terlalu berlebihan. Daffa baik, dia laki-laki yang menghargai orang dengan sangat baik, tapi gue salah mengartikan itu. Lo yang paham dia, Ey. Dan gue rasa untuk saatnya rela."

Ey mematung mendengar penuturan Deiany. Sungguh, ia masih merasa tak enak hati dengan kejadian di koridor pagi itu.

Memang, Deiany mengenal Daffa darinya. Karena memang Deiany tak lain ialah teman SMP-nya. Namun, ia hanya tak menyangka jika Deiany malah jadi menyukai Daffa. Entahlah, menurutnya saat itu Daffa sama sekali tidak tertarik dengan Deiany. Ia tahu betul itu.

Daffa yang selalu mengurungkan niat ke kantin jika melihat Deiany. Daffa yang membatalkan janji jika Deiany sedang bersamanya. Daffa yang pura-pura tidak lihat jika tidak sengaja berpapasan dengan Deiany. Ia tahu itu, Daffa selalu bercerita kepadanya saat masa-masa Deiany masih mengejarnya.

KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang