Daffa hanya berdiam menatap lapangan yang diterpa panas siang itu. Bel istirahat sudah berbunyi beberapa menit yang lalu. Untuk hari ini, ia tidak ingin ke pos satpam. Tidak ke kantin juga karena memang ia selalu menyiapkan bekal untuknya dan Daniel.
Otaknya masih setia memikirkan apa yang tadi keluar dari mulut Ey. Saat jam pelajaran kedua akan dimulai, ia berdua memutuskan untuk masuk ke dalam kelas masing-masing.
"Sebenarnya, kita ini apa, Daf?"
Kalimat tersebut terus memenuhi pikirannya. Dan ia? Ia hanya diam dan membalas ucapan tersebut dengan senyuman khasnya. Ia juga tahu, Ey tidak menyukai akan jawaban tersebut.
"Daf?" Sapa seseorang tiba di sebelahnya.
Daffa tak perlu repot-repot menoleh. Ia hapal dengan suara teman dekatnya jika sedang berada di sekitarnya.
"Ada apa, Di?"
"Ectya diam saja dari tadi, lepas ia bolos kelas sama kamu."
"Aku tahu,"
Audi mendengus malas. Malas dengan jawaban yang keluar dari mulut pria yang sama membingungkannya dengan temannya tersebut.
"Kamu manusia serba tahu, apalagi perihal Ectya. Kamu juga tahu apa yang ada dibalik hati murungnya, tapi kamu tidak pernah mengutarakan kepadanya."
Daffa tersenyum sekilas, Audi satu-satunya teman perempuannya dikelas. Apapun yang selalu tentang Ey, ia selalu menghubungkannya dengan Daffa. Dan terkadang Daffa merasa hal itu belum sepenuhnya benar.
"Tahu apa kamu, Di?"
"Aku memang tidak tahu, tapi kalau kamu berani mengatakan apa yang sebenarnya kamu rasakan, tidak mungkin murungnya Ectya bertambah dan bertambah!"
Audi sekilas mirip dengan Ey, akan marah dan kesal kalau jawaban yang ia cari tidak berhasil ia temukan.
"Tidak sekarang waktunya, Audi."
"Lalu, kapan? Bukankah kalian berdua saling memiliki rasa yang sama? Hanya mulut kalian membungkam itu semua!"
Sedikit tertampar akan kalimat yang diutarakan gadis berkacamata tersebut. Namun, ia harus mampu untuk mengontrol dirinya.
"Tugasmu membuatnya turut senang dan menunggu kabar baiknya, Di."
"Bagaimana mungkin aku dan yang lain turut senang dan menunggu kabar baiknya jika semua hal tersebut ada pada dirimu, Daf?"
"Di-"
"Sudahi, aku lupa kalau kamu lebih tidak masuk akal dari Ectya."
Daffa hanya melihat punggung Audi yang berlalu menuju ke dalam kelasnya. Mencerna kata perkata yang keluat dari mulut Audi. Ia tahu, Audi akan selalu mendukungnya dalam hal apapun, terlebih jika itu tentang Ectya. Tapi, rasanya mendengar Audi mengatakan antara dirinya dan Ey mempunyai rasa yang sama cukup bimbang hatinya untuk iya atau nanti.
🍃🍃🍃
Ectya memainkan pulpen birunya dengan tatapan kosong. Di hadapannya kini, buku kecil favoritnya pada bagian kosong sudah padat dengan coretan yang ia buat. Entahlah, ternyata bolos dengan Daffa tidak semenyenangkan saat di awal. Ia merasa kosong setelah mengakhiri percakapan tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita
JugendliteraturBukan kisah Romeo atau Juliet, lagipula, bukan kisah seperti itu yang diinginkannya. Mencoba dan belajar untuk menjadi gadis yang normal dan sebisanya mungkin, walau rasanya sangat tidak mungkin. Masing-masing diri yang selalu berusaha menjadi kita...