35. Sembunyi

3 1 0
                                    

"Kalau aku mau jadi berani, kira-kira dapat nggak, ya?"
"Kamu sedang meminta?"
"Menurutmu?"
"Tidak."
"Tapi sungguh Daffa, aku sangat ingin jadi pemberani."
"Padahal di mataku kamu selalu berani, Ey. Orang-orang juga melihatnya begitu."
"Aku lelah, Daffa."
"Loh, kenapa tiba-tiba jadi lelah?"
"Yang ku mau, aku yang benar-benar merasakan keberanian itu. Bukan dari perkataan orang lain."
"Ey, kamu pernah bilang kepadaku, atau mungkin sering. Ketika kamu mengabariku saat sedang takut atau bahkan cemas, sebenanrnya itu bagian dari proses untuk menjadi berani. Hadapi, Ey. Dengan begitu kamu terlatih dan memiliki rasa berani itu sendiri."
"Entah apa jadinya kalau aku tidak bertemu denganmu, Daf."
"Kamu akan tetap menjadi Ectya."

Ey membalasnya dengan senyuman. Cuaca di sore itu cukup menyejukkan. Angin yang berhembus dan ditemani dua cangkir kopi panas yang sudah tidak panas lagi. Sesekali rambut gadis pirang tersebut pun turut berhembus mengikuti arah angin melangkah. Sengaja tidak ia kuncir.

Pekan libur sekolah sudah memasuki hari ketiga. Namun baru kali ini ia merasakan bosan. Aneh memang, padahal itu adalah hal yang wajar. Tapi tidak bagi dirinya. Biasanya, saat pekan libur sekolah seperti ini, ia akan menghabiskan waktu di kamar sambil membaca buku-buku yang belum diselesaikannya. Ataupun kembali melanjutkan tulisannya di blog miliknya.

Saat ini, ia sedang duduk bersama manusia yang selalu mengakui dirinya ialah sang nadi. Bukan pertama kali pekan libur sekolah seperti ini, dimana ada hari yang ia gunakan untuk menghabiskan waktu dengan manusia tersebut. Namun, ini pertama kalinya ia merasa bosan dan memilih untuk beranjak keluar rumah.

"Kenapa tidak ajak teman-teman perempuanmu main?"
"Sudah."
"Lalu?"
"Setiap kali aku menghubungi Mesi, pasti ia sedang bersama Arthur, Audi juga sudah di Bali sejak awal libur, Bella selalu bilang di luar rumah terus."
"Jadi? Sama sekali nggak kumpul atau main liburan ini?"
"Main, tapi nanti. Minggu depan mungkin. Tunggu Audi pulang ke Jakarta."
"Ya sudah, kalau bosan kabari aku lagi."
"Jangan diminta, itu sudah pasti."
"Dih!"

Dua anak insan itu kompak menoleh ke arah sumber suara. Terdiam beberapa saat, lalu tertawa. Katya. Ia sudah berdiri di depan pintu dengan ekspresi wajah yang cukup sulit diartikan. Kedua tangannya terlipat di depan dadanya.

"Geli gue liat lo berdua!"
"Iri, ya?"
"Enak aja! Mana bucin di rumah gue!"

Ey tersenyum. Ya, ia sedang bersama dengan Daffa, tapi bukan di paviliun Daffa. Melainkan di rumah Katya, sepupu Daffa. Tadi saat Ey menghubungi Daffa, ia mengatakan kalau ia sedang di rumah Katya. Membantu pamannya, alias ayah Katya, untuk mengecat pagar. Setidaknya, ia dan adiknya, Daniel, tidak seharian di paviliun saja.

"Lo juga, Ey. Bisa-bisanya mau sama Daffa."
"Kate, aku dan Daffa berteman dengan baik."
"Ey, lo nggak mati rasa, kan?"

Ey yang awalnya mendengarkan dan merespon omongan Katya dengan senyuman atau pun sesekali diselingi dengan tawa mendadak terdiam. Seketika matanya hanya melihat kosong ke arah Katya. Telinganya mendadak berdengung dan hanya suara bising antara Daffa dan Katya yang sedang adu mulut. Seperti tamparan cukup kuat untuk dirinya. Apakah ia benar mati rasa?

Isi kepalanya mendadak riuh tak beraturan. Rasanya berisik sekali di dalam sini. Ia merasa seperti ditarik kembali ke dalam momen dimana hal-hal yang tidak menyenangkan dalam hidupnya terjadi. Ey memejamkan matanya dan mencoba untuk mengontrol serta menguasai dirinya. Ia tahu, ia masih belum mampu sepenuhnya untuk dapat berdamai dengan apa yang sudah berlalu. Tapi untuk beberapa waktu belakangan ini, pelan-pelan ia mencoba belajar memaafkan dan mengikhlaskan, walau sulit.

Sepanjang ia hidup, rasanya ia tidak pernah merasa dapat menjangkau rasa cinta itu sendiri. Bahkan, baginya dapat mendeskripsikan cinta itu sendiri pun tidak tahu harus memulai darimana. Mungkin Katya benar, ia sudah mati rasa. Dan mungkin juga, ia sudah mati rasa, sejak ia dilahirkan.

"Ey! Lo dengar nggak kata gue tadi?"

Ey terkejut dan langsung menyadarkan diri. Buru-buru ia ulas senyum di wajahnya untuk menutupi apa yang sedang ia rasakan. Tidak ada yang boleh tahu, pikirnya.

"Kenapa, Kate?"
"Kenapa, sih? Lagi ada pikiran?"
"Nggak-nggak, tadi mendadak pusing aja. Kenapa?"
"Mau aku antar pulang, Ey?"

Ey menoleh ke arah Daffa dan tersenyum membalasnya, "nggak usah, sudah enakan kok."

"Mau muntah gue!" pekik Katya sambil berlalu masuk ke dalam rumah.

Entah Daffa menyadari atau tidak, tapi Ey terus menunjukkan sikap sewajarnya saja. Entahlah bagaimana nanti ia pulang ke rumah. Kalau boleh jujur, ia merasa cukup takut jika sesampainya di rumah, omongan Katya masih berdengung cukup kencang di dalam kepala. Ia masih sering kepayahan menghadapi apa yang riuh di dalam kepalanya. Ia masih sering kalah dan merasa lemah.

"Ey?"
"Daf, aku mau pulang."
"Aku antar, ya?"
"Kan aku bawa motor."
"Aku yang bawa motor kamu."
"Merepotkan, Daffa."
"Aku tahu kamu sedang memikirkan sesuatu, Ey."

Ey diam. Tidak berani menggubris perkataan Daffa. Ia hanya menatap manik indah tersebut lekat-lekat. Ia lupa, sulit rasanya berbohong atau pun berkamuflase dihadapan Daffa. Entah bagaimana Daffa dapat memahaminya dengan baik, namun terkadang ia tidak menyukai hal seperti itu sepenuhnya.

"Aku punya pertanyaan."
"Kalau sudah seperti ini berarti hanya aku yang dapat menjawabnya."
"Daffa!"
"Iya-iya, apa?"
"Mereka kenapa ingin sekali ya kembali ke masa kecilnya?"

Hening. Sekarang, Daffa yang justru terdiam dan hanya menatap manik khas milik perempuan yang ia akui sebagai nadinya tersebut. Ada sedikit rasa khawatir yang menjalar dalam dirinya. Apa yang sedang dipikirkan perempuan dihadapannya ini?

"Memang kamu tidak?"
"Kamu terkadang sama seperti mereka, ya?"
"Tidak juga."
"Mengaku saja, aku tidak akan marah."
"Terkadang,"
"Pasti alasanmu karena kedua orang tuamu, kan?"
"Lantas, kamu sendiri?"
"Jika aku memiliki kesempatan untuk memilih, dibanding kembali ke masa kecil, lebih baik tidak ada saja, Daffa."

Daffa sedikit terkejut dengan perkataan Ey yang baru saja keluar dari mulutnya. Ia sama sekali tidak tahu apa yang sedang Ey pikirkan mau pun rasakan. Ey juga tidak mau mengaku lebih jauh apa yang sedang ada dibenaknya. Justru ia dibuat berkelana ke tempat lain, seakan-akan Ey sedang berusaha menyembunyikan hal utamanya.

"Nanti kita tidak bertemu, Ey."
"Kita pasti akan bertemu, tapi dengan versi diriku yang lain."

Daffa membungkam. Ia tidak bisa mencoba memaksakan diri masuk ke dalam lebih jauh apa yang sedang Ey pikirkan. Ia hanya mengizinkan Ey pulang tanpa ditemani dirinya. Dengan harapan besar, Ey baik-baik saja di perjalanan pulang, karena jarak rumah Katya dan Ey cukup menempuh perjalanan panjang.

Selama ini, dapat menjadi teman baik sekaligus mencoba untuk memahami dan mengerti Ey adalah hal yang indah sekaligus menyenangkan. Mungkin di mata orang lain, itu adalah hal yang menyebalkan dan membosankan. Tapi nyatanya tidak. Ada begitu banyak hal-hal yang ia pelajari dari perempuan berambut pirang tersebut.

Bagi Daffa, mereka terlalu sering dan senang fokus pada apa yang terlihat dan mudah dijangkau oleh mata. Tanpa perlu repot-repot mengenal lebih jauh apa yang ada di dalamnya. Dan Ey yang menjadi salah satu bagian dari hal tersebut. Sayang sekali mereka, Ey tidak pernah seburuk itu. Ia hanya sedang berjuang untuk dapat yakin akan dirinya. Tapi mereka hanya tetap fokus dan peduli pada apa yang terlihat saja. Kasihan.

🍃🍃🍃

Salam,

Pinggir laut.

KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang