33. Pertemuan Menyejukan

6 1 0
                                    

Hari ini cuaca bisa diajak kompromi. Pekan ujian ataupun classmeeting, jadwal pulang sekolah lebih cepat dari biasanya. Dan siang ini, awan sedang bergerombol menutupi teriknya matahari. Sesekali juga tiupan angin membuat rambutnya terbang. Ia sengaja tidak menguncir rambutnya.

Bel pulang sekolah sudah berbunyi beberapa menit yang lalu. Sekolah pun lambat laun mulai sepi. Di parkiran sekolah juga hanya menyisakan beberapa motor yang masih terparkir.

Saat ini, Ey sedang menunggu Maya untuk menjemputnya pulang. Ey ingat, hari-hari sebelum memasuki pekan ujian, ia meminta Daffa untuk sesekali main ke rumahnya. Ataupun ia sendiri yang diizinkan bertamu ke paviliun milik laki-laki itu.

Akan tetapi, entah dimana keberadaannya sekarang. Biasanya, Daffa akan menemaninya di depan gerbang sekolah menunggu Maya menjemputnya. Bahkan, dari pagi pun ia belum bertemu dengannya.

Selepas acara pensi kemarin, Maya sering menanyai keempatnya satu persatu, tentunya lewat Ey. Dan empat dengan Daffa. Semenjak Maya menjadi ibu asuh Ey, yang ia tahu Ey tidak pernah memiliki teman lelaki, kecuali saat ia di panti dulu. Bahkan teman perempuan pun hanya sebatas teman satu kelas saja, seperti Deiany, dan tidak dekat seperti ketiga teman perempuannya saat ini.

Sebentar lagi memasuki semester awal. Dan pertengahan tahun depan sudah memasuki tingkat sekolah akhir. Ia sudah dengar dari teman-temannya yang ingin melanjutkan ke perguruan tinggi, dan yang membuatnya cukup lemah ialah, saat mendengar mereka memilih tempat yang terpaut jauh oleh jarak masing-masing.

Bella yang benar-benar sudah mengambil keputusan bahkan sampai rapat besar dengan keluarganya untuk melanjutkan pendidikan di Yogyakarta. Mesi yang ingin melanjutkan di tanah kelahirannya Sulawesi. Dan juga Audi yang masih bimbang antara Bandung atau Bali.

Dan dirinya sendiri, entahlah. Ia juga belum mendiskusikan hal ini dengan Maya. Sebenarnya, ia hanya ingin di Jakarta saja. Dengan ketiga teman perempuannya, juga Daffa.

Dan untuk Daffa sendiri, ia pernah membicarakan hal ini dengannya, lebih tepatnya sering. Tapi Daffa hanya memberikan senyuman ataupun mengatakan, "lihat nanti saja, ya."

Ia dekat dengan Daffa, ia selalu merasa Daffa akan berada disisinya untuk menemani ataupun menenangkannya jika hari yang ia lewati buruk. Dan selalu begitu. Namun, hari tanpa ada dirinya seperti cangkang kosong yang tidak bertuan. Entah apa yang salah dengan jalan pikirnya, atau, perasaannya yang meminta ditafsirkan.

Ia tidak pernah tahu hari esok akan seperti apa. Ia juga tidak bisa menerawang jauh akan bagaimana ia tumbuh. Yang ia tahu dan bisa, hari yang sudah dilaluinya merupakan perjalanan panjang dan penuh batuan besar dihadapannya. Tapi ia berhasil melaluinya.

Ia sadar, dilihatnya sekitar yang benar-benar sudah sepi. Bahkan motor yang ada di parkiran pun sudah benar-benar kosong. Dilihatnya jam tangan hitam yang melingkar di pergelangan lengannya yang mungil tersebut, ternyata ia sudah berdiri disana setengah jam lamanya. Tidak biasanya Maya telat menjemputnya.

Ia merogoh benda pipih miliknya dan mencoba menghubungi Maya. Apa Maya sedang di jalan dan terjebak macet, atau ia tidak bisa menjemput karena pekerjaannya yang sedang menumpuk?

"Halo, nak."
"Mama dimana? Di jalan atau masih di kantor?"
"Maaf, Ey. Mama lupa ngabarin kamu. Mama masih di kantor, ada berkas yang harus mama urus, mama nggak bisa jemput kamu, nak."
"Oh, kalau gitu Ey naik angkutan umum aja, ya?"
"Iya, Ey. Hati-hati di jalan, mama juga pulang larut kayaknya."

Terdengar helaan napas berat. Lagi, Maya pulang larut karena pekerjaannya. Apa tidak bisa dikerjakan besok saja? Sepenting apa sih memangnya? Melihat Maya yang seperti itu, lambat laun itu cukup meyakinkan diri kalau ia sama sekali tidak ingin bekerja seperti Maya.

KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang