🌿 30. Explanation from the Heart 2🌿

4.6K 506 124
                                    


    "Ibu  di rumah Mojokerto sudah dua hari ini..."

    Angga langsung saja menginjak gas kendaraaannya dengan kuat. Tak mempedulikan lagi pertanyaan atau pandangan para asisten rumah tangga dan security yang membukakan gerbang untuknya.

    Perut keroncongan yang bertalu seolah berteriak meminta hak nya pun tak Angga pedulikan. Padahal sejak kemarin, Angga hanya makan setangkup roti isi dan air mineral untuk mengganjal perutnya. Rasa lapar yang tadi sempat dirasakannya menguap begitu saja. Di pikiran Angga hanya ada satu, selekas mungkin ia sampai di Mojokerto.

    Angga terus melajukan sedan  Camry hitamnya secepat mungkin. Berharap jalanan Surabaya di siang hari itu tak terlalu padat. Berharap pula lampu lalu lintas menyala hijau terus, agar ia tak harus berhenti. Ssbelum masuk ke tol Sumo, tentu saja ia harus melewati jalanan dalam kota.

    Di saat ini, Angga rasanya ingin bisa menjelma menjadi Valentino Rossy. Menyetir bak pembalap kenamaan dunia tersebut dengan kecepatan tinggi tanpa halangan. Namun Angga lupa kalau si Rossy berkendara dengan kecepatan tinggi di arena balap, bukan di jalan umum sepertinya.

Ciiitt...

       Terdengar decit rem beradu dengan aspal jalan. Klakson mobil sempat tak sengaja tertekan tangan Angga hingga berbunyi keras. Membuat Angga sendiri kaget.

     "Eh mas, kalau nyetir jangan sembarangan ya. Ini jalan raya bukan sirkuit" hardik seorang ibu yang hampir saja Angga serempet.

     Angga memang menurunkan kaca mobilnya ingin melihat keadaan orang yang hampir ia serempet. Mendengar hardikan tadi, Angga justru lega. Itu artinya ibu tadi tak apa-apa.

     "Mm, maaf bu. Maaf..." ucap Angga tulus karena memang dirinya yang bersalah. Hampir menerobos tempat penyeberangan jalan padahal lampu memang menyala merah. Beruntung mobilnya di posisi paling pinggir.

    "Lain kali lihat jalan. Jangan ngelamun begitu" sahut si ibu lagi dengan muka sebal sambil ngeloyor pergi meninggalkan Angga.

     Astaghfirullah...gumam Angga spontan. Tak mempedulikan beberapa orang yang ikut mengamatinya.

    Angga menarik napas sejenak. Mencoba menenangkan hatinya yang sedang tak baik-baik saja ini. Memikirkan tentang masa depan hidupnya. Tentang wanita yang ingin ia jadikan teman masa depannya. Teman hidupnya. Tapi apapun yang terjadi Angga harus menguasai diri. Ia hampir saja membuat orang lain celaka. Alhamdulillah, sang Rabb masih menjaganya.

    Angga pun melirik jam di pergelangan kanannya. Menunjukkan pukul dua belas siang lebih. Pastinya ini sudah masuk sholat dhuhur. Angga memejamkan mata sejenak. Kembali berusaha berpikir tenang meski tak mungkin. Ia pun memutuskan untuk mampir ke masjid yang dilewatinya untuk sholat dhuhur dahulu.

     Segarnya air wudhu yang masih membasahi wajah dan rambutnya, serta ketenangan setelah tunai bersujud di waktu dhuhur sedikit mengurai rasa galau Angga. Ia kembali mengambil gawai, memeriksa apakah ada pesan dari Dina. Tapi tetap saja nihil.

     Angga pun kembali masuk ke dalam mobil dan duduk di balik kemudi. Masih memegang benda pipih warna grey tadi. Kini ia hendak menelpon Anggi atau Anggun. Ia yakin, kedua adiknya pasti bisa ditelpon.

     Lagi-lagi Angga harus kecewa. Keyakinannya langsung terpatahkan. Kedua adiknya pun nyatanya tak mengangkat sambungan telpon darinya. Membuat Angga kembali mengacak rambutnya sendiri. Kenapa kini dirinya berasa hidup di jaman purba. Ponsel canggih seakan tak berguna, karena tak ada yang menjawab telponnya.

Bismillah...akhirnya Angga cuma bisa pasrah. Apapun yang terjadi ia harus melanjutkan perjalanan dalam kondisi tenang. Demi keselamatan dirinya juga orang lain.

Sea Of LOVE 1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang