🌿 24. Will Miss it Hard 🌿

2.9K 476 68
                                    


"Jarak terkadang menjadi sebuah ukuran. Berjauhan terkadang menjadi pembuktian. Bahwa cinta itu ada, karena rindu itu hadir ketika ada jarak dan pertemuan yang membentang"

🌿🌿🌿

     Hidup itu sekelebatan. Hidup itu hanya sepenggalan. Hidup itu cuma sekejap. Hidup itu anugerah. Hidup itu rangkaian ibadah. Dan hidup yang diberikan oleh sang Maha Perkasa adalah titipan. Bahwa hidup yang dijalani akan dimintai pertanggungjawaban.

      Apapun kedudukannya. Siapapun namanya. Berderet apapun gelarnya. Keturunan ningrat, konglomerat atau melarat semua akan mengalami sekarat. Waktu dimana malaikat pencabut nyawa datang menyapa menemui di saat sakaratul maut. Menjadi penentu akhir apakah kita bergelar husnul khotimah atau suul khotimah. Semoga pilihan nomer satu yang menjadi akhir hidup ini. Setidaknya itulah doa kita di tiap selesai sholat.

    Karena memang tiap yang bernyawa pasti akan merasakan mati. Dan tidak ada yang tahu kapan, dimana dan bagaimana kematian itu datang. Maka selalu mawas diri bahwa apapun yang kita perbuat memperoleh hisab. Menyadari bahwa semua bukanlah sekedar calon istri, calon ibu, calon bupati mungkin. Tapi yang pasti semua adalah calon jenazah.

Wa kafaa bil mauti wa idzho

"Cukuplah kematian sebagai pemberi nasehat"

    "Ini cuma dipotong-potong begini mbak?"Tanya Anggi agak bingung sambil memandang bawang putih dan patner sejatinya bawang merah yang ada di atas talenan.

    "Iya, dirajang aja" sahut Dina yang sedang memotong sayur berdiri di samping Anggi.

     "Ooh, nggak dihaluskan ya mbak"

    "Nggak usah, nanti baru ditumis" jelas Dina.

    Anggi hanya membulatkan bibir merahnya tanda seolah paham. Setelah itu langsung saja Anggi memotong duo bawang tersebut.

    "Sudah deh mbak, nih..." Anggi menunjukkan hasil garapannya. Membuat Dina ingin tertawa tapi ditahannya. Pasalnya Anggi hanya memotong jadi dua bagian para bawang tadi.

     "Eh salah ya mbak" Anggi merasa juga melihat ekspresi muka Dina yang ingin tertawa.

     "Nggak salah banget kok. Cuma kurang pas. Gini nih yang namanya dirajang" Dina mengambil alih pisau yang dipegang Anggi. Dan memberikan cara merajang bawang yang baik dan benar.

    "Ooh gitu ya mbak. Hihi...maaf deh. Anak kos tahunya mi samyang" kekeh Anggi sambil menggaruk kepalanya yang tertutup hijab instan. Membuat Dina kembali tertawa lepas.

    Selepas maghrib itu, Anggi mendatangi rumah Dina.

    "Mbak numpang makan malam" ucap Anggi sambil mengangkat plastik berisi aneka bahan masakan. Dina menebak itu bahan makanan yang dibeli Anggi kemarin di swalayan bersama Dina.

   Dina cuma tersenyum melihat gadis cantik yang selalu tampak cerah ceria itu. Ini hari kedua Anggi menginap di rumah Angga. Dan setelah kemarin mereka berakrab ria dengan belanja dan keliling mall, kini Anggi kembali mendatangi Dina.

    "Habis gak ada temennya mbak. Bete. Kak Angga belum pulang" kata Anggi ketika mereka sudah ada di dapur.

    Dina sempat melirik jam dinding yang menunjuk pukul setengah tujuh. Dina tak terlalu tahu jam berapa Angga seringnya pulang dari kantor. Baru tahu kalau Angga bisa sampai maghrib masih di kantor. Apa jadi pengusaha sesibuk itu ya?

    Dan disinilah kini mereka. Di dapur yang sangat sederhana di rumah pak Zulkarnaen. Dapur yang menyatu dengan ruang makan yang sempit dengan perlatan masak minimalis.

Sea Of LOVE 1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang