🌿 13. That point of View 🌿

2.5K 367 26
                                    

Senyumnya, tawanya, tatapannya, keringatnya, tangan kekarnya, punggung tegapnya selalu ada sebagai penyangga keluarga dialah ayah

🌿🌿🌿

     Hujan rintik-rintik mulai mengguyur bumi. Cuaca akhir-akhir ini sangat tak menentu. Siang panas benderang, mendadak gelap dan hujan. Atau pagi mendung seperti pasti akan turun hujan, namun cuaca malah gerah dan panas. Seperti hari ini, siang panas dan gerah, jelang larut malan rintik hujan pun turun membasahi bumi yang kerontang.

    Dina merebahkan badan menatap langit kamarnya yang mulai retak dan kusam karena sudah lumayan lama belum di cat ulang. Sudah hampir satu jam lebih Dina dalam posisi seperti ini. Mata lentiknya terus saja membuka dan mengerjap tak bisa terpejam. Putaran kejadian tadi sore terus saja berputar di ingatannya.

Ah Ya Allah, semoga memang bapak tak melihat posisi yang memalukan tadi...ucap Dina sendiri.

    Flashback tentang bagaimana Angga memeluknya dan ia duduk di pangkuan Angga, tak lupa pijatan Angga pada kakinya dan adu pandang mereka tadi sore serasa terus berputar di kepala Dina. Bukan karena Dina baper ke geer ran. Tapi justru Dina merasa sangat malu dan ah entahlah. Dina sendiri tak bisa menjabarkan apa yang sebetulnya ia rasakan. Tapi satu yang pasti, Dina terus dihantui perasaan serba salah jika bapak benar-benar melihat posisi awal.

Ah semoga tidak...Dina menggeleng sambil menutup kepalanya dengan guling.

    "Ehem, kamu kenapa Din..." itu teguran pertama bapak yang didengar Dina tadi sore. Dina kembali mengingat potongan kejadian kala ia dan Angga sama-sama agak panik ketika mendengar suara bapak sudah berada di ujung pintu rumah Angga.

    Dina yang sangat panik dan bingung tak bisa berpikir, tak menemukan ide bagaimana ia harus menghindar. Pasalnya lutut kakinya benar-benar masih terasa sakit dan sulit digerakkan.

    Dina mendengar langkah kaki yang mendekat ke arah taman belakang. Dan Dina bisa memastikan itu adalah langkah kaki bapak yang berjalan ke arah dimana ia dan Angga sekarang saling pangku. Bak sepasang kekasih memadu hati.

    Di saat Dina sudah merasa pasrah dengan semua yang terjadi, sebuah gerakan cepat dirasakan Dina. Sebuah tangan kekar kembali memeluk pinggangnya dan dalam hitungan detik, Dina sudah terduduk di lantai bersemen tersebut. Dan spontan Dina berteriak karena kesakitan. Iya, lututnya terasa sakit karena gerakan paksa tersebut.

    "Mm, nggak papa pak" spontan Dina menoleh ke arah bapak yang sudah berdiri di pembatas dinding antara taman belakang dan ruang dapur rumah itu.

    "Kakimu?" Bapak langsung menghambur mendekati Dina yang tampak meringis kesakitan sambil tangannya memijit lutut yang terkilir.

   "Eh anu, itu tadi Dina kepreset pak waktu menata tanaman"  Angga yang menjawab. Dina mencari dimana posisi Angga sekarang. Dan lelaki itu ternyata sudah berdiri tepat  di belakang ia terduduk.

     Dina sempat memandang intens wajah bapaknya. Mencari ekspresi apa yang ada di sana. Namun Dina sulit menjabarkan sebetulnya apa yang dirasakan bapak melihatnya seperti ini. Mungkin sedikit ekspresi cemas yang bisa Dina tangkap.

    "Coba bapak urut sedikit" bapak pun mulai mengurut lutut Dina. Setahu Dina, bapak memang sedikit memiliki keahlian mengurut dari kakek Dina.

    Dina sempat melirik Angga yang hanya terdiam dan menunduk sambil memegang tengkuknya. Entah ekspresi apa yang ada di wajah lelaki tampan itu. Sedang Dilla yang mendengar sedikit keributan di belakang, kini sudah ikut berada di sana.

    Dan setelah beberapa menit mendapat pijatan dari bapak, Dina pun pulang ke rumah dengan dipapah Dilla. Meski masih agak sakit, Dina sudah bisa berdiri dan berjalan tertatih.

Sea Of LOVE 1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang