Demi Medusa dan ular-ular di kepalanya, aku benar-benar tak habis pikir dengan tindakan Arraja dan Heksa yang nekat menyulut emosi hanya karena masalah ketidaksengajaan yang dilakukan Orion tadi.
"Sumpah demi apa pun, harusnya lo nggak perlu ngelakuin ini, Ay?" Orion menatapku lekat-lekat dan penuh rasa bersalah setelah kepergian Arraja.
"Ngelakuin apa?" tanyaku bingung.
"Harusnya lo biarin aja gue dipukul sama Arraja, karena gue emang salah, Ay."
Aku menggeleng cepat. "Engga, Yon, lo tuh nggak sengaja nendang bola sampai kena Sefrila. Lagian-"
Orion menghentikan ucapanku dengan mengusap puncak kepalaku. "Ay, udahlah, yang penting gue baik-baik aja, kan? Sekarang, lo jaga diri baik-baik ya. Sampai jumpa nanti."
Tanpa menunggu jawaban dariku, Orion segera melenggang pergi, lalu diikuti pula oleh Yudis, Agil dan beberapa teman cowok sekelasnya. Aku menghela napas gusar, menatap ketiga sobatku yang terlihat prihatin dengan semua ini. Ini tidak bisa dibiarkan, aku harus segera mencari tahu ada apa antara Arraja dan Orion, sebab sangat tercium aroma permusuhan yang kental di antara mereka. Ya Tuhan, kenapa aku baru tahu sekarang?
Akhirnya, beberapa menit sebelum bel istirahat berdentang, dengan menahan rasa sebal aku mengirimi Arraja pesan untuk menemuiku di belakang gedung kelas. Dan kali ini, raja jahil titisan neraka itu sudah memenuhi permintaanku. Ia berdiri dengan punggung bersandar di pagar pembatas gedung. Gayanya begitu memuakkan, sembari mulutnya bergerak seiring mengunyah permen karet. Seandainya Arraja berwujud sebuah kertas, sudah pasti aku meremas-remas sampai kusut hingga membentuk bola, lalu tak segan-segan aku membuang jauh ke ujung dunia.
"Gue mau nanya to the point aja sama lo. Karena gue udah muak sama lo. Sebenarnya ada masalah apa antara lo sama Orion?" tanyaku tanpa basa-basi. Menatap Arraja dengan mata yang dibuat melotot.
"Kenapa lo pengen tahu?" Arraja menyeringai seperti biasa.
"Ya karena gue pacarnya Orion." Sembari menahan bau asap dari bak sampah, aku menjawab ketus.
"Apa hubungannya?"
Aku mencebik sebal. "Lo budek ya? Sejak kapan? Ya hubungannya karena gue sama Orion pacaran lah."
"Eh dengerin ya!" Arraja menegakkan punggungnya. Menatapku dengan sorot yang begitu tajam. "Apa pun masalah gue sama cowok kesayangan lo itu, nggak ada urusannya sama lo." Arraja tersenyum sinis, memberi tanda kutip dengan kedua jarinya saat mengatakan kalimat 'kesayangan lo'.
"Plis, Ja, kasih tahu rahasia apa yang pernah lo bilang di toilet kemarin? Apa ini bersangkutan sama Orion?"
"Sayangnya itu udah nggak berlaku lagi buat sekarang. Lo sendiri kan yang bilang waktu itu kalau lo nggak mau tahu?"
Triple O em ji. Cowok itu benar-benar laknat! Setelah mengatakan kalimat terakhir itu, ia tak segan-segan meludahkan permen karet dari mulutnya di tanah di depanku. Setelah itu, Arraja segera melenggang pergi, tak memedulikanku yang sudah gregetan setengah mati.
"Arraja!" Aku berbalik, membuat langkah raja neraka itu terhenti.
"Apa?"
"Lo yang jahat atau Orion yang jahat?" Aku membekap mulut setelah bertanya hal itu. Ya Tuhan, bisa-bisanya aku seolah meragukan kebaikan dan segala bentuk perhatian dari Orion dengan memastikan pertanyaan seperti itu. Tidak mungkin Orion orang yang jahat, kalau pun iya, mungkin saja itu sudah masa lalu dan sekarang Orion sudah berubah.
Arraja mengedikkan bahu mendengar pertanyaanku. "Udahlah, gue nggak peduli lagi, Ay. Because, seperti kata lo, i hate you forever!"
"Emang sebelum ini lo peduli? Peduli ke siapa? Ke gue? Soal apa?" tanyaku sangsi. Apa ini ada kaitannya dengan lagu Benci Untuk Mencinta yang dinyanyikannya semalam?
KAMU SEDANG MEMBACA
Be My Miracle Love [End] ✔
Teen FictionWajah berjerawat, berotak biasa saja dan tidak memiliki kelebihan apa pun selain gemar mengoleksi uang receh. Itulah aku, seorang remaja yang belum pernah merasakan kisah cinta manis layaknya cerita-cerita yang pernah kubaca. Semua itu terlalu indah...