Hari Sabtu sekolahku memang tidak libur. Meski demikian, aku tetap semangat saja berangkat ke sekolah dengan menampilkan energi positif berupa senyuman.
Semalam, aku sudah membulatkan tekad untuk membuat surat pernyataan sukaku terhadap Pak Arnold. Aku tahu sikapku berlebihan, tapi tidak ada cara lain selain merangkai kata demi kata di atas kertas putih, bukan? Aku sangat berharap suratku nanti bisa dibaca Pak Arnold dan dia segera membalas perasaanku ini. Dan rencanaku, aku meminta Orion untuk memberikan surat itu kepada Pak Arnold karena kebetulan hari ini kelas Orion ada jadwal olahraga.
Jantungku berdetak cepat, terbersit keinginan untuk membatalkan semua ini saja, namun rasanya cintaku harus diperjuangkan, harus diwujudkan menjadi kenyataan, bukan hanya sekadar berada dalam angan.
Aku menarik napas perlahan, lalu tersenyum di hadapan orang yang memiliki wajah penuh jerawat yang sangat menggangu penampilan. Ya, itu adalah diriku sendiri yang sedang menatap pantulan di cermin. Sedetik kemudian, senyumku pudar karena mendadak teringat kejadian beberapa waktu ke belakang. Tentang kebetulan yang indah saat aku harus dekat dengan Orion, si cowok futsal yang ganteng dan memiliki banyak penggemar cewek yang cantik-cantik, tidak seperti diriku. Dan yang terpikir dalam benak adalah apakah Orion tulus berteman denganku? Oke, aku harus percaya bahwa dia cowok baik yang tak memandang fisik seseorang untuk berteman dengannya. Lagi pula seandainya dia berniat jahat, apa yang akan dia minta dariku? Mengenai soal perasaan, aku jadi tidak yakin Orion naksir denganku mengingat dia malah mendukung aksiku untuk menembak Pak Arnold.
Aku mengembuskan napas gusar, segera membuang jauh-jauh pikiran negatif yang tidak jelas arahnya. Lagi pula aku tidak mau munafik, sebab aku sendiri cukup merasa senang saat dekat-dekat dengan cowok itu. Belum lagi, aku jadi teringat teman baruku yang kutemui kemarin. Tadi malam, Miko mengirimiku pesan dan meminta untuk menyimpan kontaknya ke dalam ponselku. Ya Tuhan, aku tidak menyangka punya teman baru yang unik seperti Miko, aku jadi tidak sabar untuk menceritakan pertemuanku ini kepada Decha, Vinny dan Erin di sekolah nanti.
Mengingat mereka, aku jadi ingin cepat sampai ke sekolah. Iya, aku takut terlambat, terlambat untuk meminta maaf kepada mereka lalu ketiga temanku itu menjauh dari hidupku selamanya. Triple O em ji, aku tidak bisa membayangkan betapa hampanya hidupku nanti.
Waktu bergulir cepat, aku sengaja memesan ojek online agar tidak perlu berdesak-desakan di bus. Rasanya senang juga saat orderanku dikonfirmasi driver ojek bernama Jenny. Aku janji akan memberikan rating tinggi untuk mbak-mbak baik itu.
Motor berhenti di depan gerbang SMAN 25 yang masih lengang dimasuki siswa-siswi. Melepas helm, aku merapikan tatanan rambut terlebih dahulu sebelum mengeluarkan uang.
"Ini, Mbak Jenny, ongkosnya!" Aku mengulurkan uang pas ke arah Mbak Jenny. Mbak Jenny tersenyum ramah, aku membalasnya dengan spontan.
"Makasih." Mbak Jenny membuka kaca helm-nya. "Ngomong-ngomong, Mbak Ayya kelihatannya lagi berbunga-bunga banget?"
Refleks, aku memegangi kedua pipi. Apa segitu mudahnya wajahku ditebak?
"Hmm saya tahu! Pasti Mbak Ayya habis ditembak cowok yang waktu kencan kemarin malam."
Aku nyaris menyemburkan tawa mendengar kalimat itu. Ya Tuhan, itu akan jauh lebih indah, namun nyatanya perkataan Mbak Jenny salah total.
"Bukan, tapi ... aku yang mau nembak cowok, Mbak."
Gurat wajah Mbak Jenny sontak tertegun, lalu geleng-geleng kepala. Aku jadi memberengut melihat Mbak Jenny seperti itu. "Dunia memang sudah terbalik ya."
Memutar bola mata, aku menyahut, "Sekarang udah nggak jaman cowok nembak duluan, Mbak. Kalau ada rasa, langsung aja lah, daripada ditunda yang ada malah keduluan orang lain. Masalah diterima nggak diterima, itu belakangan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Be My Miracle Love [End] ✔
Teen FictionWajah berjerawat, berotak biasa saja dan tidak memiliki kelebihan apa pun selain gemar mengoleksi uang receh. Itulah aku, seorang remaja yang belum pernah merasakan kisah cinta manis layaknya cerita-cerita yang pernah kubaca. Semua itu terlalu indah...