Eps.19 - FUTSAL

1K 189 277
                                    

"Waalaikumusalam," jawab Pak Handoko dengan intonasi pelan. Mata beliau terlihat menyipit saat mendapatiku berada di dalam ruangannya.

Aku mengulas senyum tipis lantas berjalan mendekat ke arahnya. Sementara itu, Orion membalikkan tubuh hendak keluar ruangan.

"Pak Handoko apa kabar? Ingat sama saya nggak, Pak?" tanyaku kemudian setelah mengambil duduk di sebelahnya.

Untuk sesaat, Pak Handoko melipatkan dahi tanda ia sedang berpikir. Memindai wajahku lebih detail sebelum mulutnya bergerak untuk bersuara. "Ah iya iya, tentu saja ingat. Kamu yang biasa beli batagor saya, kan?"

Rasanya begitu lega ketika mendengar hal itu. Ternyata Pak Handoko tidak melupakan pelanggan setia sepertiku.

Aku mengangguk, berusaha tidak terharu dengan cara mengeluarkan air mata. Sialan, kenapa hatiku mudah tersentuh?

"Iya, Pak Handoko ... saya itu temannya Orion, anak Bapak. Kita teman satu sekolah."

Pak Handoko menganggukkan kepala. Melihat beliau tak berkomentar apa pun, aku kembali membuka mulut. "Oh iya, sebenarnya Pak Handoko sakit apa sih? Ehm kalau saya boleh tahu."

Pak Handoko tersenyum tipis, membuatku segera mengira bahwa kondisi ayah Orion ini sepertinya sudah membaik.

"Nggak sakit apa-apa kok saya," jawab beliau sembari menggerak-gerakkan jari jemarinya. Perkataan itu berhasil membuatku bingung. "Iya sih, kemaren kata dokter saya mengalami stroke ringan pada tangan, jadi dalam beberapa waktu tangan saya nggak bisa buat aktivitas. Tapi syukurlah, sekarang udah baikan."

Aku tersenyum senang mendengar penjelasan itu. "Semoga Pak Handoko cepat pulih seperti sedia kala, biar bisa jualan lagi."

"Terima kasih, Neng. Ehm ... nama kamu siapa? Selama kita ketemu ... nggak pernah tahu namanya?"

Ya Tuhan, sepertinya sikap ramah dan baik dari Pak Handoko menurun ke Orion. Aku benar-benar merasa senang bisa dekat dengan mereka.

Aku menahan seringai dengan menggigit bibir. "Nama sa-"

"Nama dia Ayya, babeh. Temen seangkatan sama Rion." Suara tersebut tentu saja berasal dari Orion yang saat ini sedang berdiri di ambang pintu kamar. Seragam sekolahnya kini telah diganti dengan pakaian futsal serta tas ransel yang tersampir di pundaknya.

Aku mengangguk pelan ke arah Pak Handoko.

"Kalian teman dekat?" Beliau menatapku dan Orion bergantian.

"Ya namanya juga temen ya harus deket dong, Pak," jawabku setenang mungkin. Sementara Orion hanya menyunggingkan senyum lebar.

"Ay, gue ... nunggu di halaman depan ya?" kata Orion kemudian seraya melirik arlojinya.

"Eh ... oh iya, Yon." Aku mengangguk cepat.

Setelah Orion tak terlihat, aku kembali menatap Pak Handoko. "Ya sudah, Pak, saya pamit dulu ya. Mau bikin tugas bareng Orion. Dan semoga cepat sembuh supaya bisa beraktivitas lagi."

"Terima kasih, Neng. Semoga ... kamu bisa menerima Rion apa adanya."

Astaga, seketika jantungku berpacu dengan irama kencang. Seolah perkataan dari Pak Handoko tersebut merupakan angin segar yang mampu menggoyahkan sistem tubuhku, terutama pada bagian jantung. Bagaimana tidak? Beliau berkata seakan aku dan Orion ini sepasang kekasih yang sedang di mabuk cinta. Ah sudahlah, lupakan saja! Mungkin aku saja yang terlalu kege-eran.

Aku menghela napas, menenangkan pikiran. Hanya tersenyum tipis sebagai jawaban celetukannya.

Setelah pamit kepada Pak Handoko dan memberikan kata-kata penyemangat lagi agar segera pulih, aku kini berada di depan rumah Orion. Aku menolehkan kepala ke sekeliling halaman sebelum akhirnya mataku menangkap sosok Orion yang sedang duduk di bangku yang beratapkan tenda kanopi, yang berada di sebelah sayap kiri rumah Orion. Tangan cowok itu segera melambai ketika melihatku, bermaksud agar aku menyusulnya. Dengan diiringi debaran jantung yang mulai berdetak normal, kakiku melangkah mendekatinya.

Be My Miracle Love [End] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang