"Loh ... kok dia jadi marah?"
Aku masih sempat mendengar Bryan berbicara, sebelum kakiku menginjak lantai luar kelas.
Bagaimana aku tidak marah? Teman-temanku sendiri mengatakan secara tersirat seolah-olah aku ini cewek bodoh dan tidak menarik yang sangat mustahil bersanding dengan Orion, sampai-sampai mereka juga menganggap sikap Orion hanyalah settingan belaka untuk mendekatiku, sebab ada motif lain yang cowok itu sembunyikan dariku. Tentu saja, selama aku merasa tak terbebani dengan hubungan ini, aku takkan percaya omongan mereka.
Aku menghirup udara siang hari yang cukup terik, menoleh sekilas ke arah kelas di mana teman-temanku dan juga Bryan masih berada di dalam sana. Ada rasa sedih menusuk dada, lantaran baru saja aku berdamai dengan Bryan, namun langsung dihancurkan oleh sikap teman-temanku. Ngomong-ngomong, itu bukan berarti aku kembali membenci Bryan.
Entah bagaimana sikapku ke depan untuk menghadapi teman-temanku itu. Namun jujur, di sisi lain aku tak mau kehilangan mereka.
Ah sudahlah, pikiran negatif itu segera kutepis jauh-jauh dari kepalaku. Sembari terus melangkah, aku mengeluarkan ponsel untuk mengabari Orion bahwa aku menunggu dia di ruang perpustakaan saja. Entah ada angin apa yang membawa kakiku melangkah memasuki tempat berbagai buku itu.
Setelah masuk, seketika hawa sejuk langsung menyergap. Namun bukan itu yang membuatku kaget, akan tetapi keberadaan Arraja dan teman-teman remedialnya sedang duduk memenuhi salah satu bangku. Sementara penjaga perpustakaan tidak terlihat batang hidungnya di meja konter, mungkin sedang istirahat atau bersiap pulang.
Saat pandangan mataku dan Arraja berserobok, aku pura-pura terkejut mendapati raja jail itu sedang menghitung menggunakan jari. Tentu saja aktivitas tersebut terhenti saat aku berjalan ke arahnya dan duduk di deretan bangku tak jauh dari mereka.
Baru saja aku duduk membelakangi tempat Arraja Cs, aku kembali beranjak untuk mengambil salah satu novel di bagian rak fiksi. Setelah memilih novel laris bertema remaja, dengan refleks aku kembali menolehkan kepala ke arah Arraja. Tak kusangka, cowok itu masih juga menoleh, menatapku dengan sorot tajam. Aku menyeringai sinis sebagai balasan sikapnya itu sebelum berbalik dan kembali duduk senyaman mungkin.
"Wah gilee ... akhirnya lo jadian juga sama Sefrila anak IPS itu, Hek? Gue nggak nyangka. Terus gimana sama Cherry?"
Sedari tadi aku tidak memerhatikan gurauan-gurauan yang sedang mereka obrolkan. Namun suara dari Darwin barusan berhasil menarik telingaku untuk mendengarkan lebih tajam.
"Nggak usah rese lo, Win, ngomongin Cherry segala. Gue udah nyerah ditolak Cherry dua kali. Lagian ... gue nggak bisa dapet Cherry, dapet sahabatnya juga boleh," tukas Heksa. Aku tidak tahu bagaimana ekspresinya.
Namun dalam hatiku bertanya-tanya, sejak kapan Heksa jadian dengan Sefrila anggota geng sok paling cantik itu?
Aku kembali memusatkan pendengaran seraya membuka sembarang halaman novel di hadapanku. Sepertinya obrolan cowok-cowok barbar itu lebih seru dibandingkan dengan buku fiksi ini.
"Halaaah bisa aja lo." Terdengar suara Riko menyahuti omongan Heksa.
"Okelah terserah lo, Hek. Tapi jangan lupa pajak jadiannya. Kita tunggu!" kata suara yang berasal dari Bayu.
Heksa sepertinya sengaja mendengus mendengar itu. "Dih ... sekarang mah udah nggak jaman traktir-traktiran."
"Huu ...sombong amat!" sahut beberapa dari mereka dengan serempak, membuatku tak tahan untuk tidak menoleh ke belakang. Seketika aku mendapati diri Heksa yang sedang dilempari kacang oleh Bayu, Darwin dan lainnya.
Aku bergidik sesaat sebelum kembali pura-pura memusatkan mata ke depan novel.
"Eh, eh ... ngomongin soal cewek, jadi ingat yang semalam. Sayang banget lo nggak ikut, Ja. Kalau lo ikut, mungkin tuh cewek bisa takluk di tangan lo," kata Darwin kemudian. Aku tidak paham topik apa yang baru saja dilontarkannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Be My Miracle Love [End] ✔
Novela JuvenilWajah berjerawat, berotak biasa saja dan tidak memiliki kelebihan apa pun selain gemar mengoleksi uang receh. Itulah aku, seorang remaja yang belum pernah merasakan kisah cinta manis layaknya cerita-cerita yang pernah kubaca. Semua itu terlalu indah...