Detik mencekam tersebut berakhir tak lama kemudian ketika Orion melepas seragam putihnya hingga menyisakan kaos berwarna hitam yang membalut tubuhnya. Tanpa berpikir panjang lagi, Orion segera memanjat tiang bendera setinggi 9 meter itu dengan lihai.
Aku bisa merasakan semua pasang mata menatap kejadian tersebut dengan berbagai reaksi, mulai dari yang terperanjat kagum sampai yang geleng-geleng tak habis pikir. Mungkin yang ada dalam pikiran mereka ialah mengapa seorang Orion bersedia melakukan sebuah pengorbanan hanya demi untuk cewek cupu sepertiku ini.
Selama waktu yang tak bisa kuhitung, akhirnya perlahan-lahan Orion berhasil mengambil tasku di ujung tiang. Cowok itu menyampirkannya di bahu sebelum tubuhnya siap turun ke bawah. Kedua tanganku sibuk mengusap sisa-sisa air mata yang menggenang. Rasanya masih tak percaya dengan semua ini. Dengan pelan, aku mencoba melirik ke arah Arraja yang masih berdiri di dekatku, terlihat rona wajahnya yang geram menahan amarah. Ya Tuhan, aku tidak mau selepas ini terjadi perang antara Arraja dan Orion.
Namun sepertinya pemikiranku berlebihan, saat Orion berhasil mendarat dengan sempurna di daratan, cowok itu segera mendekatiku dan menyerahkan tas warna hitamku dengan seulas senyum di wajahnya. Senyum penuh ketulusan, senyum candu yang akan selalu terngiang-ngiang di pikiran. Sementara Arraja tampaknya tak langsung menikam Orion seperti apa yang kubayangkan barusan. Raja jahil titisan neraka itu hanya bergeming di tempat sembari menatapku lekat-lekat.
"Thanks, Yon." Aku menerima tasku, segera mengalihkan tatapan ke arah Orion. Cowok itu mengangguk, menepuk-nepuk celananya.
Merasa tak perlu ada yang dikatakan lagi, aku segera berbalik dan memutuskan untuk keluar dari gedung sekolah yang terasa panas ini. Semua orang masih menyaksikan adegan tersebut seolah-olah cukup menarik bagi mereka.
Aku berjalan dengan langkah lebar, berusaha tak memikirkan kembali omongan Orion sebelum dia memanjat tiang bendera tadi.
Cahaya matahari menyilaukan mataku saat aku mengangkat kepala untuk meredakan tangis yang mendera.
"... tapi mulai sekarang Ayya adalah pacar gue."
Di depan gerbang sekolah yang senyap ini, aku menggigit bibir, tersenyum dalam tangis. Harus kuakui, itu merupakan kata-kata yang sangat manis yang pernah kudengar seumur hidupku. Tetapi, kata hatiku berbicara agar aku jangan terlalu berharap lebih dengannya, sebab seperti sebelumnya, aku terlampau berharap tinggi dan akibatnya jatuh teramat sakit. Lagi pula siapa tahu saja ucapan Orion itu hanya omong kosong sekedar pembelaan dan untuk melepaskanku dari kenakalan Arraja. Lantas jika benar seperti itu, alih-alih Orion membenciku karena kata-kata 'I Love You' dariku kemarin, cowok itu rupanya masih bersikap baik terhadapku.
"Ayya!"
Suara itu. Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan? Apa sebaiknya aku berlari kencang dan menghindari Orion secepatnya? Tetapi hatiku tak setuju, hingga akhirnya tanpa sadar kepalaku menoleh ke belakang.
Orion berjalan semakin dekat. Aku segera mengusap ujung-ujung mata.
"Sori, Ay." Orion menatapku. Keringat membasahi keningnya, seragam putihnya sudah kembali dikenakannya.
Aku melipat kening bingung. Maaf untuk apa? Lantas tanpa kusangka, kedua tangan Orion meraih kedua tanganku, diiringi dengan sorot matanya yang begitu lembut.
"Gue tahu kok, Yon ... lo tadi ngomong kayak gitu cuma buat nolongin gue dari kejahilan Arraja, kan?" tanyaku, lalu sedetik kemudian mengalihkan tatapan. Rasanya tak kuat menatap manik mata Orion dalam jarak dekat.
"Enggak, Ay. Kalau gue ngomongnya serius, ngomong dari hati, gimana?"
Mendengar itu, akibatnya hidungku menjadi kembang kempis serta membuat percikan kembang api berdentum-dentum di jantungku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Be My Miracle Love [End] ✔
Fiksi RemajaWajah berjerawat, berotak biasa saja dan tidak memiliki kelebihan apa pun selain gemar mengoleksi uang receh. Itulah aku, seorang remaja yang belum pernah merasakan kisah cinta manis layaknya cerita-cerita yang pernah kubaca. Semua itu terlalu indah...