"Orion? Ternyata bener lo di sini?" Seorang cewek bertopi putih bertuliskan 'Army' segera memutus kebersamaan ini.
Buru-buru Orion berdiri. "Cherry? Lo tahu dari mana gue di sini?"
"Gue tahu dari Mami lo, Yon. Gue barusan ke sana." Setelah mengatakan kalimat tersebut, pandangan Cherry lantas tertuju kepadaku. Aku balas menatapnya, hendak memaksa untuk tersenyum ketika cewek barbie tersebut mendengus tanda tak suka.
"Sori, Cher. Mungkin untuk beberapa hari ke depan gue bakal gantiin bokap jualan." Orion menjelaskan. "Lo udah tahu, kan, dia lagi sakit?"
Cherry tak tampak protes. Cewek itu kembali melirik ke arahku sekilas sebelum akhirnya meraih lengan Orion dan membawanya menjauh dariku. Sejujurnya aku tidak tahu ada apa hubungan antara Orion dan Cherry, dari awal semester lalu memang mereka berdua sudah digosipkan memiliki hubungan spesial. Namun karena aku tak terlalu mengikuti gosip yang berhubungan dengan Cherry, maka aku tidak tahu hal tersebut merupakan fakta atau rekayasa. Terakhir aku ingat, Cherry memang sedang sendiri.
Dari tempatku duduk, aku bisa melihat Cherry sedang berbicara serius kepada Orion. Sesekali tatapan matanya mengarah kepadaku. Rasanya aku begitu yakin bahwa Cherry sedang berbicara mengapa Orion bisa berduaan denganku di sini.
Oke baiklah, karena merasa sudah tak ada urusan apa pun lagi, aku memutuskan untuk beranjak pulang. Sudah cukup larut untuk anak sekolah yang belum pulang dan belum memberi kabar ke orangtua mengenai keberadaanku saat ini. Mungkin saja Mama sedang menyuruh Ravenza untuk mencariku. Biarkan saja, aku suka melihat adikku itu memberengut sebal saat harus menghadapi situasi semacam ini.
Aku sedang mengeluarkan uang dari saku rok ketika Orion berdiri di sampingku. Tanpa sengaja pandangan mataku dan cowok itu tertumbuk, mengunci satu sama lain. Cepat-cepat aku tersadar dan menatap sekeliling. Ternyata Cherry sudah tidak tampak batang hidungnya.
"Loh, Cherry mana?" Aku bertanya seraya mengeluarkan selembar uang 10 ribu dari saku.
"Dia udah pulang kok baru aja." Orion menyahut dengan tatapan dan senyuman yang masih tertuju kepadaku. Sontak aku memalingkan wajah dengan cepat. Ini tidak boleh terjadi. Senyuman imut dari Orion sedetik kemudian menambah perasaan gugup pada diriku.
"Ehm, Yon. Gue juga mau pulang deh. Udah gelap nih." Sambil berkata, kedua tanganku refleks merapikan tatanan rambutku. "Dan ini ... gue bayar batagornya."
Orion tersenyum amat manis, lalu menggeleng. "Nggak perlu, Ay, itu khusus buat lo. Hitung-hitung sebagai ucapan terima kasih gue karena lo udah jadi pelanggan setia Pak Handoko."
"Ta-tapi, Yon ...."
"Udahlah ... disimpan aja duitnya." Orion meraih tanganku yang sebelumnya terulur, lalu menggenggamnya erat. Hawa panas segera menjalar di wajahku, untung saja langit telah berganti menjadi gelap. Lalu lalang orang juga tak berpusat kepada kami.
"Ya-ya sudah, makasih kalau gitu." Aku berusaha mengulum senyum.
Orion melepas genggaman tangan, lalu terkekeh pelan. "Sori ya, gue main pegang aja tangan lo."
"Nggak apa-apa kok, Yon." Intonasiku terlalu cepat untuk diucapkan, membuat Orion tertawa pelan. "Ya sudah deh, gue pamit dulu."
Buru-buru aku berbalik dan berjalan sedikit cepat.
"Ayya!" Belum ada satu meter, langkahku terhenti karena panggilan dari Orion.
Segera aku berbalik menatapnya. "Iya, Yon?"
"Sori ya gue nggak bisa nganterin lo. Padahal kalau bisa gue pengen nganter."
Aku mengigit bibir berusaha tak mengeluarkan jeritan. "I-iya ... santai aja. Masih ada angkot yang akan lewat kok."
KAMU SEDANG MEMBACA
Be My Miracle Love [End] ✔
أدب المراهقينWajah berjerawat, berotak biasa saja dan tidak memiliki kelebihan apa pun selain gemar mengoleksi uang receh. Itulah aku, seorang remaja yang belum pernah merasakan kisah cinta manis layaknya cerita-cerita yang pernah kubaca. Semua itu terlalu indah...