"Pak Arnold?" tanyaku dengan suara mencicit, mengeluarkan benak penasaran yang luber di otakku saat ini.
Decha segera menoleh ke arahku dengan alis bertaut. "Iya .... Emang lo nggak tahu? Dia Pak Arnold guru olahraga kita sebagai pengganti Bu Dhini yang sedang cuti hamil."
"Triple o em ji, jadi serius Pak Arnold cowok yang lo maksud kemarin?" tanya Vinny, entah kenapa kedua telapak tangannya memegangi pipi.
"Lo nggak salah orang lagi kan, Ay?" Decha memastikan, menatapku lekat-lekat.
"I-iyaa dia cowok yang gue maksud. Yang pengen gue kenal." Aku tak tahu lagi harus bagaimana.
Sementara Erin menatapku prihatin. "Lo sadis, Ay. Masa naksir sama guru kita sendiri?"
Oke, setelah mendengar apa yang mereka katakan, aku segera menyimpulkan bahwa pangeran berkuda putih yang kemarin kutemui adalah guruku sendiri, guru kami, guru yang sangat tampan sebagai guru pengganti Bu Dhini yang minggu lalu resmi cuti. Aku tak tahu lagi apa yang harus kulakukan selain bungkam menatap sosok pangeran itu dari jauh. Jantung segera berdetak tak karuan. Dan seketika aku teringat kata-katanya kemarin yang sontak membuatku bingung.
"Apa tadi barusan kamu bilang? 'Kak'? Kamu nggak tahu sopan santun atau gimana? Kenapa manggil saya dengan sebutan 'Kak'?"
Kini aku sadar maksud dari kalimatnya. Tak sepantasnya murid memanggil guru dengan sebutan 'Kak', terkecuali dalam acara Pramuka. Namun, aku benar-benar merasa kesal dengan sikapku kemarin. Belum lagi aku yang mengira bahwa dia adalah driver ojol.
Detik berlalu dengan begitu cepat, pangeran berkuda putih itu, eh maksudku Pak Arnold sudah berdiri tegak di hadapan kami. Menghalau anak-anak cowok yang baru saja berbaris di samping kami.
Mataku terpejam, menghela napas dan mengembuskannya pelan. Baiklah, aku harus memasang muka badak garis miring raut biasa saja, seolah-olah kejadian konyol kemarin tak pernah ada. Namun tentu saja perasaan ini tidak bisa dibuat biasa saja, aku sudah terlanjur kagum dan terpesona kepada Pak Arnold yang mempunyai badan ideal itu. Wajahnya yang mirip Rich Brian menjadikan beliau terlihat masih seperti anak remaja. Ya ampun, mendadak aku jadi kepo dengan usia Pak Arnold sekarang.
"Oke baiklah anak-anak ...."
Triple o em ji, aku kembali mendengar suaranya yang serak-serak basah itu. Rasanya sangat nyaman di telingaku. Pandanganku tak luput dari Pak Arnold yang sedang berbicara di depan kami.
"Ay, gue tahu lo lagi terpesona. Tapi kondisikan muka lo," bisik Decha, merangkul pundakku.
Aku segera melotot ke arahnya. "Emang muka gue kenapa?"
"Mupeng," sahut Decha sebelum kembali menyimak omongan Pak Arnold.
Keningku berlipat tanda tidak tahu apa itu arti kata 'mupeng'. Mungkin lain kali aku harus lebih update untuk urusan kosa kata yang kekinian.
"Ya ... dilihat dari rekapitulasi nilai praktik yang sebelumnya, di sini tertera nilai paling tinggi selalu didapat oleh satu anak." Pak Arnold menatap buku nilai yang dipegang. "Dia adalah .... Arraja Glencio Winata."
Semua anak cowok seolah terpukau dengan memberikan seulas senyum di wajah mereka. Kemudian tak lama Pak Arnold melanjutkan, "Pertahankan, Arraja." Beliau mengangguk, menatap Arraja bangga.
Sontak semua anak-anak cowok bertepuk tangan riuh menyaksikan raja mereka yang mendapat pujian. Arraja sendiri membungkukkan badan dengan berlebihan seolah sedang mengucapkan terima kasih. Aku mencibir saat melihat hal itu.
"Oke, dan untuk nilai praktik terendah ada satu nama. Nama itu adalah .... Ayya Rachelia."
Demi Medusa dan ular-ular di kepalanya, barusan Pak Arnold menyebut namaku? Hal seperti itu saja sudah membuatku bahagia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Be My Miracle Love [End] ✔
Novela JuvenilWajah berjerawat, berotak biasa saja dan tidak memiliki kelebihan apa pun selain gemar mengoleksi uang receh. Itulah aku, seorang remaja yang belum pernah merasakan kisah cinta manis layaknya cerita-cerita yang pernah kubaca. Semua itu terlalu indah...