Eps.15 - Aku dan Dewi Fortuna

1K 207 213
                                    

"Triple o em ji ... ini, kan, helmnya Pak Ar-" Aku membekap mulut, tak bisa melanjutkan kata-kataku.

Mendadak otakku beku, berpikir apa yang harus aku lakukan sekarang? Lantas dengan cepat aku melempar ponsel ke atas kasur, mengabaikan seruan Orion di seberang sana.

Aku berjalan ke arah jendela kamar dan membukanya lebar-lebar sehingga membuat serbuan angin malam segera masuk ke dalam ruangan. Aku tak memedulikan hawa dingin yang menyergap, pandanganku menatap lurus ke jalanan depan rumahku. Pak Arnold pasti sudah jauh. Namun, apa ada kemungkinan beliau kembali putar arah?

Tak tahu lagi apa yang harus kulakukan. Aku tidak memiliki nomor guru tampan itu dan begitu pula sebaliknya. Dalam keremangan kamar, bayang-bayang Pak Arnold saat mengajakku pulang bersama masih membekas. Dan kurasa selamanya akan terpatri di memori ingatan.

Aku kembali berjalan untuk mengambil ponsel. Ternyata Orion sudah memutuskan sambungan. Seketika aku jadi merasa bersalah dengannya. Maafkan aku ya, Yon.

Detik berikutnya, aku melepas helm dari kepala dan menatapnya dengan mata penuh lambang cinta. Bak diterpa angin malam yang membawaku menuju alam mimpi, aku berbaring memejamkan mata perlahan seraya memeluk erat helm milik Pak Arnold tersebut.

***

Fajar belum menyingsing dari timur. Jendela kamar ternyata lupa aku tutup. Aku terbangun seolah baru saja tertidur dalam waktu yang panjang.

Hari ini aku semangat membuka hari. Tak memedulikan deringan beruntun dari grup chat kelas yang pasti berisi lelucon yang sangat tidak penting. Seperti Arraja yang selalu spam stiker-stiker tak berguna.

Dan hari ini pula aku yang akan bertekad mengembalikan helm milik Pak Arnold secara langsung sekaligus meminta maaf.

Setelah beberes mandi, aku lekas turun untuk sarapan. Papa seperti biasa sudah berangkat ke kantor, Mama menyiapkan hidangan nasi goreng sosis, sementara Ravenza masih di dalam kamar.

"Semalam pulang jam berapa kamu?" tanya Mama tiba-tiba.

Aku meringis tipis. "Nggak tahu persis jam berapa, Ma. Nggak lihat jam semalam."

"Kata Papa kamu diantar sama gurumu? Apa itu benar?" tanya Mama lagi, memulai interogasi pagi-pagi.

Aku mengangguk cepat. "Iya, Ma, aku di antar Pak Arnold."

"Papa sama Mama akan tahu kalau kamu berbohong," sahut Mama sebelum berbalik arah menuju ruang dapur. Wajahnya menyiratkan kecurigaan yang tinggi.

Tapi tak bisa dipungkiri, penuturan Mama barusan berhasil membuatku tertegun sejenak. Detik berikutnya aku tersadar tak perlu ada yang dikhawatirkan, karena pada kenyataannya aku tidak berbohong.

Setelah menghabiskan sarapan, aku kembali naik ke lantai atas untuk menyiapkan buku pelajaran hari ini. Pandanganku menangkap helm warna merah di atas meja belajar yang sontak membuatku senyum-senyum sendiri.

Aku tak menghitung berapa lama waktu yang kubutuhkan untuk tetap memandangi helm tersebut seolah-olah benda itu merupakan titisan Pak Arnold yang bebas kupandang.

"Heh, lo berbuat ulah apa di sekolah?" Suara Ravenza dari arah pintu kamar segera menyentakku. Aku melirik dengan tatapan tajam ke arah Ravenza yang sedang mengeringkan rambut menggunakan handuk.

"Maksud lo apa? Dateng-dateng ngomong nggak jelas."

"Maksud gue, lo di sekolah berbuat ulah apa sampai-sampai guru lo datang ke sini pagi-pagi gini." Ravenza geleng-geleng kepala.

"Pagi? Triple o em ji ... ini itu udah jam tujuh lebih." Aku bersungut sebal mendengar definisi pagi versi Ravenza. "Eh tapi ngomong-ngomong, maksud lo siapa guru gue yang datang?" lanjutku cepat.

Be My Miracle Love [End] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang