Eps.41 - Harusnya Memang Bukan Aku

806 120 209
                                    

"Ngapain lagi kalau bukan nemenin saya tukar cincin?" Pak Arnold seketika menyeruak dan merangkul bahu Mbak Jenny. "Iya, kan Jen?"

Mbak Jenny mengangguk, tersenyum lebar ke arahku.

Rasanya sulit dipercaya menghadapi kenyataan ini. Kenyataan tatkala seorang Mbak Jenny, driver ojek langgananku adalah calon istri dari Pak Arnold, guru olahragaku.

Oke, tak berpikir apa pun lagi, seketika itu juga aku memeluk Mbak Jenny yang malam ini tampil berbeda dengan menguaraikan rambut panjangnya. Sekarang aku merasa bersyukur bahwa Mbak Jenny-lah orang yang akan menjadi pendamping hidup Pak Arnold, karena aku percaya dia adalah sosok perempuan yang baik.

"Mbak Jenny... aku... aku nggak nyangka kalau ternyata...." Aku melepaskan pelukan, lalu menatap mata Mbak Jenny. Sempat melirik ke arah Pak Arnold, dia tak terlihat kaget atau semacamnya begitu melihat kedekatan antara aku dan calon istrinya.

"Ayya, biar nanti saya jelaskan ya." Mbak Jenny tersenyum, menepuk bahuku lembut.

Banyak pertanyaan yang berkelebat di kepalaku saat ini. Tentang bagaimana seorang Mbak Jenny yang berprofesi sebagai pengemudi ojek online bisa menjadi calon Pak Arnold—seorang mahasiswa tingkat akhir. Oke, aku bukannya meragukan hubungan mereka, terlebih merendahkan status Mbak Jenny, tidak sama sekali. Kepalaku ini hanya terbungkus oleh rasa penasaran yang menjadi-jadi.

Ketika puncak acara berlangsung, mataku tak kuasa menahan tangis. Ada rasa sesak di dada menyaksikan Pak Arnold dan Mbak Jenny bertukar cincin. Namun di lain sisi, aku merasa cukup bahagia, meski selintas di pikiran seandainya yang berdiri di samping Pak Arnold itu adalah aku. Aku mengusap ujung-ujung mata yang berair sembari menggeleng pelan mengusir pikiran konyol tersebut. Sudahlah, harusnya memang bukan aku yang di sana. Mbak Jenny-lah perempuan yang sempurna dan pantas untuk menjadi permaisuri Pak Arnold.

Seberes acara tukar cincin yang terlihat begitu manis, para tamu segera menjamu hidangan makan besar. Hingga beberapa saat kemudian satu per satu tamu undur diri untuk pulang. Tak terkecuali aku dan ketiga sobatku yang juga hendak pamit kepada pemilik acara di depan rumah. Sementara Arraja dan teman-temannya tak terlihat batang hidungnya. Sempat aku melihat mereka bersenda gurau dengan Pak Arnold selepas acara baru usai.

"Selamat atas pertunangan ini ya, Pak Arnold, Mbak Jenny. Saya ikut senang." Aku menatap bergantian dua orang yang sangat berjasa dalam hidupku ini. "Sebelumnya saya bener-bener nggak nyangka kalau ternyata kalian...."

Pak Arnold dan Mbak Jenny tertawa pelan.

"Ehm semoga diberikan kelancaran sampai hari pernikahan nanti, Pak, Mbak."

"Terima kasih atas doanya, Ayya."

Aku mengangguk singkat.

"Tapi tunggu dulu, kamu jangan dulu pulang. Seperti yang saya bilang tadi, saya mau berbicara sesuatu dulu sama kamu." Mbak Jenny meraih tanganku.

"Tapi... gimana dengan teman-teman aku, Mbak?" tanyaku pelan, menatap ketiga sobatku yang rasa keponya sudah terobati mengenai siapa calon istri Pak Arnold.

"Mereka boleh pulang dulu. Nanti kamu yang akan saya antar." Mbak Jenny tersenyum meyakinkan. Perlahan, aku mengangguk dan dengan senang hati menanti penjelasan Mbak Jenny, lalu melepaskan Decha, Erin, dan Vinny untuk pulang terlebih dahulu.

***

Malam kian beranjak, ribuan gugusan bintang gemintang bercahaya di langit gelap. Membentuk formasi yang amat memukau. Aku memandang ke atas, tersenyum tipis sembari duduk di kursi taman depan rumah Mbak Jenny yang sederhana nan asri ini.

Aku mencoba mengecek ponsel untuk sekadar melihat apakah Orion online atau tidak, tetapi rupanya cowokku itu tidak ada tanda maupun jejak membuka sosmed. Mungkin benar, karena di puncak gunung minim sinyal hingga dia tak bisa mencari jaringan untuk koneksi internet.

Be My Miracle Love [End] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang