Eps.42 - Buket Bunga

764 119 185
                                    

Harusnya kunang-kunang yang berpendar sepanjang perjalanan menjadi suatu pemandangan yang menakjubkan, yang memukau, andai saja aku sedang tidak dalam keadaan berdua dengan Arraja. Kunang-kunang yang menyerupai lentera malam dalam bentuk titik-titik cahaya itu tak kuhiraukan keberadaannya hingga motor Arraja berhenti tepat di depan rumahku yang sudah lengang.

Meskipun saat ini aku memakai gaun, tak menghalangi gerakanku untuk cepat-cepat turun dari boncengan Arraja. Merasa tak perlu ada yang diurus lagi, aku mengambil langkah seribu menuju pintu gerbang.

"Woy, Ayya!"

Langkahku seketika terhenti, menghela napas panjang sebelum berbalik badan. "Apa?"

Alih-alih menjawab, Arraja justru menatapku dengan sorot tajam dibalik kaca helmnya.

"Oke, Arraja, gue udah ngantuk berat karena ini udah malam banget. Jadi, mohon maaf gue nggak perlu basa-basi buat nyuruh lo mampir dulu ke rumah gue."

"Sori ya, gue nggak berharap buat ditawarin mampir dulu." Arraja mendengus singkat.

"Oke, terus apa lagi?" Aku mengedikkan bahu, merasa heran.

"Ternyata benar ya apa kata pepatah, 'sekarang sudah jarang ada orang yang mengenal kata terima kasih, maaf dan tolong'. Dan lo bener-bener udah membuktikan semua itu. Thanks, Ayya."

"Triple O em ji... lo cuma mau denger kata terima kasih dari gue repot amat sih. Oke, fine, makasih ya buat tumpangan ojeknya, Pak Arraja."

Arraja memalingkan wajah seraya merapatkan kembali kaca helmnya tanpa menyahuti omonganku.

"Puas kan sekarang? Atau kurang? Tapi maaf, udah nggak ada waktu lagi. Mending sekarang lo balik karena gue juga mau masuk rumah." Aku berbalik badan.

"Dan oh ya satu lagi!" Aku berhenti, lalu putar balik menghadap Arraja. "Lo nggak usah sok jadi orang bener dengan cara nasihatin gue seperti tadi."

Tanpa menjawab apa pun lagi, Arraja lekas menghidupkan motor. Sesaat kemudian ia bergegas balik arah, meninggalkanku yang tercengang karena omonganku tak ditanggapinya sama sekali. Aku menghentak kaki kesal, buru-buru mengambil kunci serep dari dalam tas untuk membuka pintu gerbang.

Sesampainya di kamar, aku melepas gaun milik Erin yang melekat di tubuh dan menggantinya dengan baju tidur. Meletakkan fotoku dan Pak Arnold di atas meja, lantas berjalan masuk kamar mandi untuk membersihkan diri. Kulakukan semuanya hingga usai dengan diiringi bayang-bayang Orion. Bagaimana aku tidak kepikiran? Sedari dia berangkat muncak sampai sekarang tak sekalipun memberiku kabar.

Aku menatap lamat-lamat layar ponsel sembari berbaring di atas kasur. Mendadak, perasaanku jadi tidak enak mengenai soal Orion. Untuk membuang rasa aneh tersebut, aku buru-buru membungkus tubuh dengan selimut tebal, melelapkan diri terbang ke alam mimpi.

Hingga pagi menyapa, aku membuka mata dan baru teringat kalau sekarang adalah hari Minggu, awalnya aku berniat untuk melanjutkan tidur, tetapi rupanya diri ini sudah tak ada gairah untuk kembali mengarungi alam mimpi.

Aku melirik jam dinding yang menunjukkan pukul setengah delapan, lalu perlahan bangkit dari tempat tidur. Meregangkan badan yang terasa kaku.

"Orion? Lo sekarang lagi ngapain?" gumamku yang kini duduk di pinggiran kasur.

Bunyi ponsel segera menyentakku. Mungkinkah itu kabar dari Orion? Seulas senyum samar tersungging di bibirku saat tanganku dengan cepat mengambil benda berwarna hitam tersebut di atas meja belajar. Dengan perasaan senang, aku membuka pesan masuk di WhatsApp. Aku mencebik kesal saat membaca nama Heksa yang terpampang di bar notifikasi. Untuk apa sepagi ini Heksa mengirimiku pesan? Namun, sebuah tanda foto yang dikirim Heksa membuatku jadi penasaran.

Be My Miracle Love [End] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang