"Tapi dengan beberapa syarat!" Suara nyaring Bu Genviel sontak menghentikan keriuhan dadakan ini. "Yang pertama adalah tidak boleh saling contek mencontek atau kerja sama dengan teman sebangku kalian."
Syarat pertama kurasa tidak ada masalah. Selagi masih bisa membuka buku, aku tak keberatan untuk tutup mulut agar tak bertanya dengan teman lain, dengan catatan aku paham materi tersebut, tentunya.
"Syarat yang kedua, tidak boleh memakai kalkulator. Jika ada yang ketahuan, saya abaikan. Hanya saja diam-diam kalian akan saya kasih nilai nol!" Bu Genviel menatap kami semua. Tampaknya tidak ada yang keberatan dengan syarat kedua.
Kami masih patuh mendengarkan Bu Genviel menjelaskan. "Syarat yang ketiga adalah tempat duduk kalian saya yang mengatur. Dan syarat yang terakhir, nilai kalian semua harus di atas rata-rata," lanjutnya.
Untuk sesaat, suasana kelas kembali dihiasi dengan bisikan-bisikan yang berdengung seperti lebah.
"Jika ada pertanyaan, silakan diajukan!"
Heksa yang duduk sebangku dengan Arraja segera angkat tangan, hendak bertanya.
"Iya Heksa, kenapa?" Bu Genviel menatap Heksa dengan sorot tajam.
"Kalau nilai kita di bawah rata-rata bagaimana, Bu?" tanya cowok berpipi chubby tersebut.
"Itu dia contoh pertanyaan pesimistis. Tolong yang lain jangan ditiru," kata Bu Genviel dengan raut serius.
Sontak semua penghuni kelas mengumandangkan kor ke arah Heksa.
"Huuu!!"
Tentu saja aku yang paling keras menyuarakannya, sembari menatap Heksa dan menjulurkan lidah. Beruntung, Bu Genviel tidak melihat aksiku tersebut.
"Why? Apa salahnya bertanya, gaes. Tadi katanya kalau ada pertanyaan suruh diajukan." Heksa berusaha mengelak. Memasang ekspresi tak berdosa.
"Ya tapi pertanyaan lo mengandung pesimisme, bung," sahutku, melirik judes Heksa yang sedang dibisiki sesuatu oleh Arraja.
"Sudah, sudah." Bu Genviel buru-buru menghentikan adu mulut kami. "Bagi kalian yang mendapat nilai rendah, tentunya harus remedial hari ini juga di jam pulang sekolah, setelah saya umumkan hasil ulangannya."
Bu Genviel terdiam sejenak untuk mengambil napas. "Paham, kan? ... saya harap kalian paham karena kalian sudah dewasa."
Setelah mengatakannya, Bu Genviel berbalik arah menuju meja guru. "Ya ... dan sekarang saya akan mengatur tempat duduk kalian sesuai urutan absen."
"Hah?" Aku membekap mulut dengan spontan. Beberapa teman yang lain juga tampak keberatan dengan sistem seperti ini. Bahkan ada yang terang-terangan mengumpat, aku bisa mendengar suara itu yang berasal dari meja belakang. Kalian bisa menebak? Ya, itu adalah suara Arraja. Namun sepertinya Bu Genviel tak peduli akan hal itu.
Aku sendiri sedang memikirkan keganjilan yang kurasakan di benak. 'Sesuai urutan absen' tak jarang terjadi sebelumnya. Dan bagiku, itu merupakan mimpi buruk di hidupku.
"Untuk yang menduduki meja pertama adalah Adila Raishantika dan Ajisaka Putra Leksana," ujar Bu Genviel sembari membaca buku absensi. "Silakan langsung saja kalian maju ke depan untuk ambil lembar soalnya."
Adila dan Aji dengan serentak beranjak dari bangku masing-masing dan berjalan maju ke arah Bu Genviel untuk mengambil lembar soal. Setelah keduanya memegang selembar kertas HVS tersebut, Bu Genviel memerintahkan Syamsir dan Fernaldi yang duduk di depan meja guru agar segera beralih tempat sementara. Karena bangku mereka akan diduduki Adila dan Aji.
KAMU SEDANG MEMBACA
Be My Miracle Love [End] ✔
Novela JuvenilWajah berjerawat, berotak biasa saja dan tidak memiliki kelebihan apa pun selain gemar mengoleksi uang receh. Itulah aku, seorang remaja yang belum pernah merasakan kisah cinta manis layaknya cerita-cerita yang pernah kubaca. Semua itu terlalu indah...