"Ehm ... soal kejadian yang kemaren, saya minta maaf banget, Pak. Saya nggak bermaksud bersikap nggak sopan," pungkasku, berusaha terdengar santai.
Pak Arnold menyilangkan lengannya di depan dada, menatapku lekat-lekat.
Hal itu sontak membuatku menunduk, tak berani menatap balik sorot matanya yang tegas.
"Soal itu nggak saya permasalahkan kok, saya tahu problema anak-anak muda seperti kalian."
Aku mengalihkan tatapan dari sepatuku menuju wajah orang di depanku ini. Dahiku terlipat tanda tak tahu maksud perkatannya.
Pak Arnold terkekeh singkat, lantas melanjutkan, "Sudahlah nggak perlu dipikirkan."
"I-iya, Pak Arnold. Sekali lagi saya minta maaf," ujarku dengan perasaan tak menentu.
"Lagian saya senang bisa bertemu murid sepertimu, Ayya." Pak Arnold mengulas senyum penuh pesona ke arahku. Ya Tuhan, rasa-rasanya sistem sarafku tak bisa berfungsi normal. Bayangkan, senyuman maut itu ditujukan untukku!
"Murid seperti ... saya?" tanyaku, pelan-pelan. "Emang kenapa, Pak?"
"Kamu .... Lucu."
Tanpa kuduga, tangan Pak Arnold mengusap ujung kepalaku. Astaga, mendadak aku lupa cara bernapas dan seketika lututku lemas. Seseorang, tolong berikan aku asupan oksigen untuk melanjutkan napas.
Sentuhan itu tidak terjadi hingga lima detik, tetapi sukses membuat jantung ini bergejolak tiada henti.
Pak Arnold berbalik badan, melanjutkan langkah tanpa sepatah kata lagi. Sesaat aku tertegun, memegangi dada seraya menahan pekikan bahagia.
Mengembuskan napas perlahan, aku segera berjalan ringan saat ingat aku harus menunggu Pak Arnold di depan kantor untuk mengambil contoh makalah yang akan kubuat.
Masih sambil senyum-senyum sendiri di koridor yang sunyi, langkahku dihadang oleh seseorang yang saat ini ingin kuhilangkan di muka bumi. Ya, siapa lagi jika bukan Arraja. Cowok itu tiba-tiba muncul di depanku dengan ekspresi yang tak biasa. Merenung. Ada apa dengannya?
"Ayya ...," kata Arraja, menatapku dengan sorot lembut. Aku tidak boleh terpancing dengan gerak-geriknya.
"Apa lo?" tanyaku, sengaja dibuat judes.
"Ay, gue cuma mau minta maaf sama lo soal yang tadi. Gue bener-bener udah keterlaluan merendahkan lo. Nggak seharusnya gue dan temen-temen ngetawain lo."
Aku mendengus pelan. Seorang Arraja meminta maaf? Dunia seolah berubah menjadi fiksi.
"Kenapa? Lo lagi kesambet setan?" Aku masih menyangkal bahwa Arraja minta maaf secara tulus.
Arraja menggeleng tegas. "Enggak, Ay. Ini gue asli Arraja, nggak lagi kesambet. Gue beneran minta maaf udah sering jail sama lo." Kedua tangan Arraja meraih kedua tanganku dan menggenggamnya erat. Ada sorot kelembutan di matanya. Apa betulan cowok tengil itu minta maaf? Jadi, sampai di sini saja cerita kejahilan kita?
"Plis, Ay ... masa lo nggak mau maafin gue." Arraja menatapku dalam-dalam, membuatku jengah untuk menatap balik.
"Lo aneh deh minta maafnya tiba-tiba."
Mendadak aku merasakan firasat yang juga aneh. Biasanya orang yang minta maaf secara tiba-tiba merupakan pertanda kontrak hidup di dunia tak akan lama lagi. Hal itu membuat aku jadi bersimpati kepadanya.
"Ehm ...."
Bersamaan itu pula, Arraja bersuara. " Ay ...."
"Lo dulu aja deh, Ja," kataku jengah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Be My Miracle Love [End] ✔
Ficção AdolescenteWajah berjerawat, berotak biasa saja dan tidak memiliki kelebihan apa pun selain gemar mengoleksi uang receh. Itulah aku, seorang remaja yang belum pernah merasakan kisah cinta manis layaknya cerita-cerita yang pernah kubaca. Semua itu terlalu indah...