Eps.8 - Ribuan Detik Bersamamu

1.2K 282 287
                                    

"Oh iya kenapa lo bisa jualan batagor punya Pak Handoko?" Aku menatap Orion, buru-buru mencari topik pembicaraan.

Orion terkekeh pelan sebelum menjawab, "Sebelum gue jawab pertanyaan lo, mending lo duduk dulu." Dengan manisnya, Orion mengambil kursi dan mempersilakan aku duduk. Panasnya sore seolah tak membuatku keberatan, asalkan bisa mendapatkan perhatian. Ya Tuhan, baru kali ini aku diperlakukan manis oleh seorang cowok.

"Lo pasti laper dan berniat beli batagor punya Pak Handoko ini, kan?" Orion berbalik menghadap gerobak, membelakangiku yang tak bisa berkutik karena merasakan percikan api asmara secara tiba-tiba. Gue harus rileks, hatiku segera menyugesti diri.

"Gue bikinin spesial buat lo ya." Orion memalingkan wajah, menatapku minta persetujuan. Tanpa berpikir dua kali aku cepat-cepat mengangguk. Kata 'spesial' seolah menambah rasa senang jiwa dan ragaku.

Oke baiklah, aku benar-benar tidak boleh jatuh cinta dengan Orion. Hatiku rasanya sudah tertancap di hati Pak Arnold—guru olahraga dan pangeran berkuda putihku—jadi aku harus mengenyahkan segala perasaan ini jauh-jauh. Sebab saat ini aku masih berharap bahwa Pak Arnold yang akan menjadi keajaiban cintaku kelak.

Lamunanku ketika sedang membayangkan sosok Pak Arnold terputus ketika Orion menyodorkan satu porsi batagor yang terbungkus sebuah kotak. Kotak tersebut terbuat dari kardus beserta penutupnya dengan tempelan stiker bertuliskan, 'BATAGORION - Enak, Lezat & Bikin Ketagihan'.

Aku tersenyum penuh terima kasih kepadanya. Tanpa berpikir lagi, aku segera mengambil garpu plastik yang memang sudah tersedia di dalam kotak dan hendak bersiap memakannya. Rasa lapar tak menghiraukanku untuk berhenti melahap batagor saat Orion menatapku dengan ekspresi senang.

"Oh iya tadi gimana jadinya? Pertanyaan gue belum dijawab?" tanyaku kemudian saat sudah menelan kunyahan pertama.

Terpaksa rasa ingin tahuku kembali dialihkan oleh seorang wanita yang tiba di samping Orion untuk membeli batagornya.

"Mas beli batagornya dong, dua porsi ya!" Wanita yang memakai kawat gigi itu kentara sekali sengaja menatap Orion dari dekat. Ekspresinya membuatku sadar bahwa mungkin saja saat aku menatap Pak Arnold tak beda jauh dengannya.

"Siap, Kak!" Dengan cekatan, Orion melayani pembeli dengan begitu ramahnya. Sopan dan santun terlihat dari gerak tubuhnya. Hal itu lantas membuatku bertanya-tanya, apakah yang Orion lakukan saat ini? Bekerja menjadi karyawannya Pak Handoko?

"Ini Kak, batagornya. Segera disantap mumpung masih hangat." Orion mengulurkan kantong plastik ke arah wanita pembeli yang segera diterimanya dengan senang hati.

Aku melihat wanita tersebut mengeluarkan selembar uang dua puluh ribu dari saku celana jeans-nya. "Ini Mas uangnya. Kembaliannya buat Mas-nya aja."

Aku hampir saja tersedak jika tidak langsung segera mengendalikan diri. Satu porsi seharga lima ribu, jika dua porsi maka sepuluh ribu. Wanita tersebut seolah tak membutuhkan uang dengan merelakan sepuluh ribu kembalian demi untuk si penjual yang sudah pasti menurutnya tampan itu.

Apakah semua wanita seperti itu? Oh tentu saja tidak, sebab aku tidak termasuk di dalamnya. Karena bagiku ketika membeli sesuatu atau membayar uang transportasi jika ada kembalian 500 perak pun tetap aku ambil. Ingat? Aku memang hobi mengoleksi uang-uang receh untuk ditabungkan.

"Tapi, Kak ... ini ada kok kembaliannya." Orion berusaha menyergah wanita yang hendak berbalik arah sambil melambaikan tangan kepada Orion.

"Nggak perlu, Mas. Makasih." Wanita itu segera berlalu dengan cepat.

Orion hanya geleng-geleng kepala, lantas mengembalikan uang ke dalam laci yang sempat diambilnya tadi. Aku kembali takjub melihatnya.

"Ya ampun, Yon, kalau gitu terus lo bakal cepet untungnya." Setelah mengatakan kalimat itu, tiba-tiba aku butuh minum.

Be My Miracle Love [End] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang