Eps.51 - Memilikimu Seutuhnya

917 148 207
                                    

Pagi ini aku bertekad harus bisa melupakan kejadian dan hubungan yang seharusnya membuatku bahagia. Oke, mungkin aku pernah merasakan bahagia bersamanya, saat mengarungi hari berdua dengannya. Tapi, yang aku rasakan itu terbayar oleh kenyataan pahit yang meruntuhkan dinding hatiku. Mulai detik ini, aku memulai sebuah usaha untuk melupakan kenangan-kenangan yang pernah singgah dalam bingkai hidupku tentang Orion.

Langkahku semakin ringan saat menapaki lantai koridor yang menuju kelas. Tak kusangka, beberapa anak yang berpapasan denganku menyapaku dengan ramah.

"Ayya, semangat!" kata salah seorang cewek anak IPA, seangkatanku.

"Iya makasih. Lo juga ya." Aku tersenyum, lalu kembali melanjutkan langkah.

"Ayya! Munduran dikit dong!"

Astaga, kepalaku menoleh ke sumber suara yang sudah sangat kukenal. Aku melihat Arraja yang barusan bersuara. Dengan pelan, aku melangkah mundur ke belakang.

"Manisnya kelewatan." Usai mengatakannya, Heksa dan Bayu yang ada di samping Arraja segera bersiul-siul.

"Apaan sih?" kataku menahan rasa gelak tawa, terlebih ada anak-anak lain yang menyaksikan gombalan receh tersebut dengan berbagai ekspresi.

Aku melanjutkan langkah untuk masuk ke dalam kelas. "Tumben banget mereka datang pagi," gumamku.

Ketika memasuki kelas, ternyata masih lengang dan hanya ada Darwin yang baru saja meletakkan tas di bangkunya. Aku melakukan hal yang sama ketika sebuah kertas jatuh dari laci mejaku. Jantungku jadi berdetak kencang, membalik isi tulisan yang tertera di sana. Ternyata benar. Tulisan berhuruf latin yang aku duga milik tulisan Arraja.

"Selamat pagi, Putri Manis. Hapuskan perih, hapuskan luka. Tersenyumlah selalu."

"Singkat banget isinya," kataku merengut sebal.

Seketika aku teringat dan buru-buru mengejar Darwin yang baru saja keluar kelas.

"Eh, Kampas Rem! Tunggu!" seruku, memberhentikan langkah Darwin.

"Apa?" Darwin menoleh dengan muka masam. "Gue mau ke kantin nih mau sarapan, lapar."

Aku berjalan mendekatinya, lalu mengangkat kertas di tanganku. "Lo pasti tahu kan siapa yang udah menaruh kertas ini di laci gue?"

Kening Darwin mengernyit. "Emang lo belum tahu?"

"Belum sama sekali. Bilang sama gue siapa orangnya." Aku mendesak Darwin.

"Wah payah, gue kira udah tahu lo. Itu tuh dari Arraja, dia yang nulis. Ah, mendingan sekarang lo ngomong langsung sama yang bersangkutan aja."

Tanpa memberiku kesempatan berbicara, Darwin menggandeng tanganku untuk mengikuti langkahnya.

"Eh, Kampas Rem, tolong jangan gandeng gue seolah-olah gue anak kecil yang diseret bapaknya karena baru aja pulang main sehabis maghrib."

"Bodo amat."

Sebelah tanganku segera terangkat untuk menjitak kepala Darwin dengan pelan. Cowok itu tak mengaduh kesakitan.

"Woy, Arraja, kalian sarapan nggak ngajak-ngajak ya," ujar Darwin begitu kami sampai di kantin.

"Salah sendiri lo datangnya belakangan." Heksa yang menyahut.

Be My Miracle Love [End] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang