"Ayo masuk ke dalam dululah, duduk-duduk santai sembari ngopi."
Aku menatap Arraja cemas. Berharap Arraja akan menolak tawaran Papa yang sok ramah itu. Arraja menyeringai jahil sebelum berdeham pelan.
"Terima kasih atas tawarannya, Om. Tapi saya mau langsung pulang aja. Banyak tugas yang harus dikerjakan." Arraja benar-benar pandai bersandiwara.
Oke, mungkin itu merupakan hal baik lantaran Arraja sudah bersikap sopan terhadap Papa. Tapi yang patut digarisbawahi adalah kebohongan yang mengatakan bahwa dia akan mengerjakan tugas yang banyak. Astaga, aku ingat untuk saat ini belum ada tugas sama sekali. Kecuali aku yang mendapat tugas khusus dari Pak Arnold. Mendadak aku jadi teringat harus cepat-cepat mempersiapkan segala sesuatunya mengenai makalahku.
"Yah sayang sekali ya. Lain kali boleh kok main ke sini lagi." Papa menepuk bahu Arraja dengan akrab, membuatku tertegun sejenak.
Arraja tertawa pelan. "Baik, Om. Kalau begitu ... saya pamit dulu." Arraja meraih punggung tangan Papa dan menciumnya dengan khidmat. Benar-benar raja jahil bermuka dua!
Aku memberi tatapan maut ke arah Arraja, sebelum cowok itu naik ke atas motornya. Arraja hanya membalas dengan seringai tipis.
"Duluan ya, Ay. Makasih titipannya." Arraja mengenakan helmnya.
Sementara aku justru sedang menahan diri agar tidak berteriak tepat di depan wajahnya. Titipan? Apanya yang titipan? Aku baru saja diperbudak.
Aku melirik Papa yang tidak peka sama sekali akan kondisi anaknya ini. Papa jelas tidak tahu bahwa cowok yang baru saja bersikap sok manis adalah musuh abadiku, orang yang suka mem-bully-ku.
Setelah Arraja menyalakan motornya, cowok itu melambaikan tangan sembari mengucap, "Assalamualaikum, Om."
"Waalaikumsalam." Papa menjawab senang. "Hati-hati di jalan!"
Arraja mengangguk, tersenyum licik di balik helm-nya. Aku bisa melihat itu.
Tanpa menunggu Arraja pergi, aku mengentakkan kaki kesal dan segera melesat ke dalam rumah. Membiarkan Papa yang masih dengan setia menunggu Arraja menghilang di balik tikungan.
"Papa sok akrab banget sih sama dia?" Aku mengambil sebotol air dingin dari kulkas untuk mengusir rasa kering di tenggorokan lantaran menahan geram setengah mati.
Papa yang baru saja masuk dan duduk di samping Mama melipatkan dahi heran. "Loh ... memangnya Papa salah beramah-tamah sama teman cowok kamu?"
Aku duduk di sofa lain yang cukup berjauhan dengan mereka, sembari menenggak minuman. "Ya nggak salah sih Pa ...," kataku sambil mengusap bibir.
"Kali aja dia naksir sama kamu."
Perkataan Papa berhasil membuatku nyaris mengeluarkan cairan yang baru saja masuk ke dalam tubuh. Arraja naksir aku? Itu adalah salah satu hal yang sangat tidak mungkin terjadi.
"Papa ngaco deh." Aku bergidik ngeri, membayangkan jika Arraja yang menjadi keajaiban cintaku kelak.
"Memang siapa sih Pa yang barusan ke sini? Cowok? Kok tumben? Kenapa nggak disuruh masuk?" Mama jadi ikut-ikutan kepo. Tatapannya beralih ke arahku dengan curiga.
"Dia bilang sih temen sekelasnya Ayya, Mah." Papa menjawab.
"Palingan juga ada maunya, Pa, Ma. Mana mungkin sih, seorang Ayya diapelin cowok?"
Aku tidak tahu sejak kapan Ravenza sedang duduk di meja makan sambil menikmati sosis goreng yang aromanya cukup menggiurkan.
"Eh nggak usah ikut campur deh lo, dasar jailangkung! Datang nggak diundang, pulang nggak diantar," jawabku sengit. Lantas melempar bantal sofa ke arah Ravenza yang tergelak bahagia lantaran sasaranku tidak tepat mengenainya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Be My Miracle Love [End] ✔
Fiksi RemajaWajah berjerawat, berotak biasa saja dan tidak memiliki kelebihan apa pun selain gemar mengoleksi uang receh. Itulah aku, seorang remaja yang belum pernah merasakan kisah cinta manis layaknya cerita-cerita yang pernah kubaca. Semua itu terlalu indah...