Eps.39 - Sebuah Syarat

776 122 152
                                    

Suasana sekolah sudah tampak sepi, hanya tersisa anak kelas 12 Bahasa yang sedang bermain sepak bola di lapangan olahraga dan juga ada aku yang sedari tadi setia menemani dan menonton Orion bertanding. Aku duduk di bangku tepi lapangan seraya melakukan kegiatan membosankan seperti mendengarkan lagu-lagu Rich Brian, Pamungkas dan Taylor Swift secara berulang-ulang, lalu diikuti scroll sosial media sekedar melihat dan menekan ikon love untuk postingan ketiga penyanyi favoritku itu.

Aku meregangkan badan yang kaku setelah nyaris satu jam duduk menunggu Orion. Sembari melepaskan eaprhone dari kedua telinga, aku menguap lebar karena mendadak terserang rasa kantuk.

Pandanganku kembali terpusat ke tengah lapangan di mana Orion masih asik bermain bola. Melihat aksi Orion dan teman-temannya tersebut, aku jadi teringat Pak Arnold. Maksudku, rupa-rupanya dua hari yang lalu bukanlah menjadi hari terakhir kali kami bertemu, bukan menjadi hari perpisahan seperti yang kubayangkan tempo waktu. Rasanya begitu lega tatkala Pak Arnold masih bersedia berinteraksi dengan para murid meski status dia nanti sudah bukan menjadi guru kami lagi.

Mengingat sosok Pak Arnold, aku juga jadi teringat soal undangan tunangan Pak Arnold pada Sabtu malam nanti, yang artinya adalah besok malam. Setelah ini, aku akan meminta Orion untuk menemaniku ke acara sakral tersebut. Aku ingin menyaksikan kebahagiaan Pak Arnold ketika bertukar cincin dengan tunangannya nanti. Sementara aku ditemani dengan pacar sendiri sehingga bisa berharap suatu hari kelak, Orion bisa cepat-cepat melamarku dan menjalani hidup berdua penuh bahagia. Oke, aku sudah mulai berkhayal terlalu jauh.

"Orion!" Aku melambai-lambai saat melihat Orion sedang break sesaat. Orion pamit undur diri kepada temannya lalu berlari ke arahku dengan gaya santainya itu.

"Ada apa? Lo mau ijin pulang dulu ya?" tanya Orion yang segera mengambil duduk di sebelahku.

"Ehm enggak, bukan itu." Aku berusaha tersenyum manis.

Orion mengelap keringat di kening dan lehernya menggunakan handuk kecil yang tersampir di bahunya. "Terus?"

"Ehm malam Minggu besok, lo nggak ada acara kan?"

Orion membuka tutup botol air mineral sebelum menenggaknya dengan cepat. Sepertinya rasa dahaga menyerang Orion. "Emang kenapa? Gue besok...."

"Temenin gue ke acaranya Pak Arnold ya, plis." Aku menangkupkan kedua tangan di depan dada. "Gue butuh lo banget buat datang ke sana."

"Hah? Acara apaan?" Dahi Orion mengernyit bingung.

"Acara tunangannya Pak Arnold." Aku masih memasang senyum lebar.

Orion menghela napas. "Sori, Ay, lo ngomongnya terlalu mendadak. Gue Sabtu besok diajak Elby anak SMAIN buat muncak ke Gunung Artapela di Jabar. So, maaf banget, gue nggak bisa nemenin lo."

Kenapa sih sekarang Orion sudah tak selalu ada untukku? Hubungan ini lama-lama terasa jadi hambar dan sedikit renggang.

Aku menunduk untuk menunjukkan rasa kecewaku. "Apa... lo nggak bisa batalin rencana itu?"

"Ay, tolong ya lo ngertiin gue. Gue nggak mungkin batalin rencana muncak itu segampang berjabat tangan. Lagi pula gue udah janji sama mereka dan ini momen langka, Ay, kapan lagi gue bisa muncak bareng anak-anak SMAIN."

SMAIN merupakan singkatan dari SMA Anak Indonesia yang akhir-akhir ini beberapa muridnya sering bermain futsal bareng dengan kelas Orion. SMA populer tersebut juga yang menjadi tempat sekolah Gilvan, mantan pacar Erin tersayang itu.

"Terus kapan janji lo ditepati buat mencari Miko? Janji lo itu belum terpenuhi, Yon." Aku memalingkan wajah ke tempat lain.

"Ayya, lo tahu, kan, dia sekolahnya di mana? SMK Taruna Jaya, Ay, ya... itu kan lumayan jauh dari sekolah kita. Belum lagi...."

Be My Miracle Love [End] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang