13. Curhat Tata

6.4K 793 15
                                    




Kekesalan Farid terlihat jelas saat berhadapan dengan Tata yang sudah duduk di kursi yang berada di hadapan meja belajar, di kamarnya. Tubuh Tata sudah berbalut baju kaos dan celana pendek selutut milik Farid.

"Lu ngapain nekad? Gue udah bilang nggak perlu datang hujan-hujan."

Tata diam saja. Dia anggap dirinya sedang disidang Farid malam Minggu ini. Mau bilang kangen? Basi. Farid paling mencibir mendengar alasannya. Yang terpenting bagi Tata adalah dia sudah berdekatan dengan Farid.

Tak lama kemudian, Bu Ola muncul ke kamar Farid sambil membawakan air rempah hangat dan cemilan.

"Udah mendingan?" tanya Bu Ola setelah meletakkan baki di atas meja belajar Farid. Sebentar menoleh ke arah Farid yang duduk di tepi dipan.

"Iya, Tante," jawab Tata pelan. Sebelumnya dia mengeluh pegal di bahu sebelah kanan. Bu Ola memijatnya setelah Tata membersihkan diri.

"Ya udah. Tante tinggal dulu. Mau lanjut nonton. Kamar Nayra sudah Tante rapikan," ujar Bu Ola sambil menepuk-nepuk bahu Tata. Dia juga menoleh ke arah Farid yang terlihat sebal dengan kehadiran Tata. Lalu kemudian meninggalkan kamar Farid dengan pintu terbuka lebar.

Tak lama kemudian, terdengar suara orang yang bercakap-cakap dari layar televisi yang Bu Ola hidupkan.

Farid menggelengkan kepalanya masih tidak percaya dengan apa yang Tata perbuat. Menembus hujan yang sangat deras hanya ingin menemui dirinya? Sensasi apa lagi ini? Pancingan apa lagi?

Farid mendengus.

"Lu dari apartemen? Apa dari suatu tempat? Gue denger suara lu kayak sedang berada di luar," mulai Farid.

Tata menatap tajam Farid. "Gue baru nolak orang yang mau ngajak gue nikah..." jawab Tata lugas. Dia bersikap sangat tenang. Berdekatan dengan Farid memang menenangkan bagi Tata.

Farid memperbaiki duduknya. Seketika sekujur tubuhnya merasa tidak nyaman dengan jawaban Tata. Dia balik tatap Tata dengan sorot mata tajam.

"Mama gue ngenalin gue dengan Tristan, kerabat Papa gue. Trus kita janjian dan makan malam di café dekat dari apartemen gue. Rencananya Mama mau jodohin gue dengan dia. Gue udah mau, dia juga. Udah siap kasih cincin buat gue, buat nikahin gue secepatnya. Tapi lu nelpon gue..." tutur Tata.

Farid terkesiap. Dia mulai gusar. "Lu nyalahin gue yang nelpon lu? Lu..., ck... jadi gue..., napa lu ke mari?"

"Lu nelpon..."

Farid menoleh ke pintu kamarnya yang terbuka, ingin rasanya dia tutup. Pembicaraan ini tidak layak didengar ibunya.

"Lu nyusahin..."

Farid mengusap-ngusap wajahnya dengan dua tangannya. Ini rumit. Dia sama sekali tidak ingin menjadi penghalang orang lain untuk menjalin hubungan.

"Lu pulang, Re..."

"Lu tega..."

"Gue bukan orang ketiga lu..."

"I don't care..."

Farid bertambah gusar.

"Maksud lu apa? Gue nelpon cuma ingin tahu kabar lu. Ck..., seandainya gue tau lu kencan. Gue ..."

"Gue udah di sini..."

Keduanya saling pandang. Farid yang memandang geram Tata, dan Tata yang memandang Farid dengan gaya tenangnya.

Farid mendongakkan kepalanya. Tata memang tidak bisa diprediksi.

"Gue nggak mau jadi penghalang. Gue hubungi lu cuma ajak lu ngobrol. Gue mau tau kabar lu. Bukan berarti nyuruh lu ke sini. Seharusnya lu nggak angkat telpon gue. Lu bikin gue susah hati, Re. Lu nyusahin dia juga. Lu nggak mikir perasaan dia waktu lu angkat telpon gue? Lu ..., bijak lah." Hampir saja Farid ingin membandingkan usia Tata yang pasti lebih tua darinya. Seharusnya Tata bisa bersikap sesuai umurnya.

FaridTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang