7. Demi Ayu

6.3K 726 2
                                    

Sudah dua kali sidang yang diikuti Guntur dalam memperoleh hak asuh Ayu. Dua kali pula dia harus menelan kekecewaan karena hasil sidang yang kurang memuaskan. Pengadilan terkesan menunda menetapkan keputusan. Ini dikarenakan pihak Mila yang cukup kuat dan lihai membantah berbagai tuduhan yang mengarah kepada mereka yang dianggap terus menekan Ayu, sang korban.

Nayra selalu menemani suaminya dan memberi dukungan. Berkali-kali dia melihat betapa geram wajah Guntur ketika mendengar pihak Mila, yang diwakili beberapa pengacara, membantah tuduhan-tuduhan dari pihaknya. Guntur seakan ingin mengejar mantan istrinya itu dan berteriak sekeras-kerasnya di hadapannya. Untung saja Nayra selalu menenangkannya. Jika tidak, hak asuh tidak akan berpihak kepadanya, karena dianggap memiliki kepribadian yang sangat labil.

"Bu Nayra. Jangan bosan menenangkan suami ibu, ya. Mereka ini sangat lihai. Mila tidak mereka hadirkan. Mereka sengaja untuk terus bertahan dan membantah. Memang posisi kita sedikit rumit, karena Ayu sudah lebih dari empat belas tahun di bawah asuhan maminya, dan dianggap bahwa ada gerakan mencurigakan dari pihak kita, yang seakan-akan ingin merebut Ayu." Dian, sang pengacara menjelaskan dengan sangat bijak.

"Mereka sengaja memancing emosi Pak Guntur. Jika Pak Guntur gegabah, atau bersikap yang tidak seharusnya semasa sidang, kita bisa kalah sebelum waktunya. Jadi jangan menganggap bahwa pengadilan terkesan menunda. Mereka sangat hati-hati dalam mengambil keputusan," lanjut Dian.

"Ibu mengerti, ya?"

Nayra mengangguk. "Iya, Bu Dian. Bagaimana mungkin para hakim memutuskan memberikan hak asuh ke orang yang bersikap tidak baik..."

"Nah..., itu maksudnya."

"Kalo begitu, kenapa Bu Dian menyuruh kita hadir juga? Kenapa kita tidak seperti mereka yang hanya menghadirkan beberapa pengacara saja?"

Dian tersenyum mendengar pertanyaan Nayra.

"Itu akan jadi penilaian juri, Bu. Sebenarnya mereka sudah kalah dalam hal ini. Hanya saja mereka terus mengandalkan masa pengasuhan Ayu yang cukup lama di bawah pihak ibunya, dan selama itu pula kebutuhan hidup dan hak-hak hidup Ayu terpenuhi dengan baik oleh maminya. Ini poin penting bagi pihak kita untuk menunjukkan kesungguhan Pak Guntur yang lebih bertanggung jawab terhadap kehidupan Ayu selanjutnya," jelas Dian.

Nayra sangat puas mendengar penjelasan Dian. Walaupun dia awalnya sama sekali tidak memahami hukum atau apa-apa yang berkaitan dengan hukum, setidaknya ini menjadi awal bagi Nayra dalam menghadapi berbagai masalah yang pasti akan dia hadapi ke depannya. Apapun masalahnya, harus dihadapi dengan tenang.

Dian juga demikian. Dia sangat senang karena pihak Guntur mau diajak kerjasama. Terutama terhadap sang istri yang tidak pernah malu bertanya sedetail mungkin mengenai proses sidang yang mereka lalui.

"Papa bilang, Pak Guntur terlalu pintar. Kadang-kadang suka ngasih pertanyaan yang terlalu tinggi yang susah dijawab atau ditanggapi. Pak Guntur juga suka membantah. Jadi agak sulit diajak kerjasama. Apalagi wajah Pak Guntur terkesan meremehkan. Maklum..., calon professor. Kata Papa, dia lebih nyaman mengurus Bu Hanin yang penurut. Makanya Papa melimpahkan perkara ini ke saya. Hehe..., tapi jangan bilang sama Pak Gun ya, Bu. Saya tetap professional. Papa juga tetap berkomunikasi dengan saya mengenai perkembangan perkara ini."

Nayra tersenyum simpul mendengar alasan dari Dian mengenai alasan kenapa papanya enggan menjadi pengacara inti untuk mengurus hak asuh Ayu. Nayra sangat membenarkan ucapan Dian. Wajah Guntur memang sangat menyebalkan sebelumnya, juga terkesan meremehkan orang lain. Tapi sekarang, Guntur tentu sangat berbeda jika berdekatan dengan dirinya, manja semanja-manjanya.

***

Sejak Nayra sibuk dengan urusan rumah sakit dan pengadilan, Nayra terlihat jarang beristirahat. Meski wajahnya tampak tenang, tapi tetap saja hati dan pikirannya selalu sibuk. Dua hal yang mejadi fokus pikirannya, ketenangan Guntur dan Kesehatan Ayu. Hebatnya, Nayra tidak pernah mengeluh dengan apa yang telah terjadi. Dia adalah orang yang tidak pernah bosan memberi semangat kepada suaminya bahwa mereka akan memenangkan hak asuh Ayu. Nayra juga tidak pernah lelah menemani Ayu dan meyakinkan bahwa Ayu akan aman bersama dirinya dan papanya.

Dan hari ini Nayra kembali bersiap-siap pergi menuju rumah sakit sebelum meluncur ke kantor pengadilan.

"Gimana, Mbok? Es batunya udah dipisah?" tanya Nayra yang sudah sangat rapi dan wangi.

Hari ini dia meminta Mbok Min dan Bu Sari memasak soto lamongan kesukaan Ayu plus es kacang merah. Meski sudah pernah diingatkan bahwa tidak boleh mengkonsumsi makanan dari luar rumah sakit, tapi tetap saja Ayu agak sedikit bandel. Dia sama sekali tidak mau menyentuh makanan yang disediakan. Padahal makanan di sana terjamin kesehatannya. "Nggak enak..., Ayu nggak mau makan," keluh gadis itu suatu malam. Dia rayu eyangnya membelikannya nasi goreng yang ada di seberang rumah sakit. Nayra tentu kecewa, akhirnya dia mengusulkan agar Ayu lebih baik makan makanan yang dimasak dari rumah. Apapun yang dia mau, akan dibuatkan untuknya.

"Udah... ini tinggal wadahin kacang merahnya, Nay. Sotonya juga udah dirantangin. Lengkap. Waduh. Pulang-pulang Ayu pasti gendut kayak aku ini..., hehe..." canda Mbok Min sambil melap-melap alat-alat makan yang akan dibawa Nayra ke rumah sakit.

"Ayo. Kamu ingat-ingat butuh apa lagi? Jangan seperti kemarin, lupa bawa bawang goreng sama sambal rica pidisnya," sela Bu Sari seraya meletakkan rantang tingkat tiga di atas meja.

Nayra tersenyum haru melihat dua ART yang sangat memperhatikan keluarganya. Lalu dia rangkul Mbok Min yang berdiri di dekatnya. Mbok Min membalas rangkulannya.

"Duh, Nay... aku mesakke karo kowe, Naaaay. Baru menikah, belum sempat senang-senang..., eh..., bolak balik rumah sakit. Bolak balik pengadilan. Nasibmu, Naaaay."

Nayra bukannya kecewa atau sedih mendengar kata-kata melas Mbok Min, dia malah tertawa kecut menyadari nasibnya yang memang menyedihkan. Sedikit membenarkan kata-kata Mbok Min, hidupnya berubah sejak dirinya menggantikan posisi Mbok Min menjadi ART di rumah itu. Masalah yang dia hadapi cukup berat, tapi yang paling penting dia akhirnya mendapatkan cinta dan kebahagiaan dari pria pujaan hatinya. Masalah-masalah berat pun seakan-akan menjadi ringan baginya.

"Minaaa. Mbok ya disemangati Nayranya, biar Nayra kuat. Ini malah dikasihan-kasihani. Ya tambah sedih tho?" Bu Sari mengusap-ngusap punggung Nayra.

"Ya ela, Buuu. Wong aku iki ikut simpati. Bukan kasihan-kasihan..."

"Walah..., katamu mesakke mesakke..., apa bedanya?"

Mbok Min yang cemberut mengeratkan rangkulannya seakan-akan Nayra tidak dia perkenankan ikut merangkul Bu Sari.

"Lha..., piye..., iki kayak Ayu wae..., peluk-peluk Nay jangan sampe nempel terus ke papanya."

Nayra sedikit merenggangkan rangkulannya. Menatap senyum ke arah Mbok Min dan Bu Sari bergantian, dua orang yang sangat berjasa membantu meringankan beban perasaannya selama ini, dari sebelum menikah hingga sekarang.

"Makasih. Mbok, Bu Sar. Kalau nggak ada kalian berdua, mungkin aku juga nggak bisa sekuat ini," lirih Nayra. Wajahnya sedikit memelas.

"Duh, Nay. Kita juga sama. Kamu merubah orang-orang angkuh di rumah ini menjadi baik, Nayra. Kita juga ikut senang. Kerja juga lebih ringan," balas Bu Sari dengan senyum manis penuh doa dan makna.

***

FaridTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang