10. Nasihat Ibu

5.7K 732 19
                                    

Farid disambut senyum hangat ibunya. Dia baru saja pulang dari rumah Guntur. Ada plastik berisi martabak yang dia beli di warung di pinggir jalan. Farid sangat tahu ibunya penyuka martabak manis dengan toping kacang wijen dan coklat.

"Asyik. Makasih, Farid. Biasanya martabaknya buka malam. Kok sore udah bisa kebeli?" tanya Bu Ola setelah meraih bungkusan plastik dari tangan Farid.

"Yaela, Bu. Kita belinya emang seringnya malam-malam. Tuh abang-abang bukanya ya dari sore..."

Bu Ola mengulum senyum, dia bergegas menuju dapur mencari wadah untuk martabak favoritnya.

"Rame yang beli?" seru Bu Ola dari dapur. Suaranya diiringi bunyi-bunyi piring bersentuhan.

"Nggak. Masi sore soalnya. Tapi pas aku pulang dari beli martabak, eh... nggak lama rame yang datang..." tanggap Farid yang sudah duduk selonjoran di depan televisi di ruang tengah. Dia hidupkan televisi.

Tak lama kemudian, Bu Ola datang dengan membawa baki yang dia atasnya ada sepiring martabak dan dua cangkir teh hangat.

Farid langsung membantu ibunya meletakkan kudapan sore itu di atas tikar tipis yang terbentang di lantai.

"Gimana kabarnya si Ayu?" mulai Bu Ola.

Farid melirik mata ibunya yang tertuju ke piring martabak.

"Makin membaik, Bu. Kata Aldila, dia nggak perlu ikut terapi lebih lama. Anaknya cepat beradaptasi kok..." jawab Farid. Dia raih teh hangatnya, lalu menyeruputnya sambil berdecak nikmat. "Nggak keliatan habis sembuh dari percobaan bunuh diri," lanjutnya terkekeh.

Bu Ola ikut tersenyum.

"Kamu nyaman sama dia?"

Farid mendelik.

"Ck..., ya. Nyaman," decaknya. Lalu menghela napas seperti ada yang mengganjal di alam pikirannya. Dia tahu ibunya tidak sepenuhnya menyukai kedekatan dirinya dengan Ayu.

"Ibu tau Bu Hanin suka sama kamu. Guntur, kakakmu, juga mendukung kalian bisa berdua."

Farid meraih tali pengikat rambutnya dari pergelangan tangannya. Dia ikat rambutnya seolah-olah ingin mendengar kata-kata bijak dari ibunya selanjutnya dengan seksama.

"Kalo menurut ibu Ayu itu lebih baik disayang seperti kamu disayang Nayra."

Farid menggerak-gerakkan jari jemari panjangnya.

"Rasanya lebih indah begitu. Bagaimanapun kamu itu pamannya. Nggak tau ibu merasa kurang pantas saja jika seandainya kamu berduaan dengan Ayu. Meski dia cantik, ayu, manja, penurut, tapi dia kemenakanmu."

Bu Ola kembali mengunyah martabaknya. Perasaannya tenang sudah mengungkapkan uneg-unegnya. Apalagi setelah menelan satu potong martabak kesukaannya. Bu Ola merasakan suasana hatinya sangat riang. Dia akhirnya bisa tersenyum lega.

"Tapi lagi-lagi ya terserah kamu. Ibu hanya memberi kamu pandangan. Biar kamu berpikir lebih matang lagi. Ibu nggak mau kamu menjalin hubungan dengan seorang perempuan hanya untuk bersenang-senang saja."

Bu Ola menyeruput tehnya. "Maaf kalo ibu suka goda-godain kamu dengan Ayu sebelumnya. Itu ibu serius bercanda. Kalo kali ini serius nasehatin kamu." Bu Ola mencubit pipi Farid yang masih diam mendengarkan dia berbicara.

Entah kenapa terlintas wajah Tata di benaknya.

"Kalo Rena gimana menurut ibu?"

Bu Ola mendelik. Lalu menghela panjang. "Kamu emang suka?"

Farid tertawa sambil menggigit bibirnya.

"Dia suka aku, Bu. Aku? Entah..."

Bu Ola tersenyum melihat wajah Farid yang sekarang dihiasi senyum kecut.

"Rena itu bagus dijadikan teman. Lebih? Dia misterius. Baru kenal ibu saja sudah berani membantu ibu di belakang. Sepertinya banyak yang dia sembunyikan. Kalo dijadikan teman atau sahabat, baru tepat posisi buat Rena."

Farid mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Dia nggak keliatan lagi seminggu ini ya, Rid?"

Farid hanya mengangkat bahu. Dia juga tidak menghubunginya. Farid merasa lebih baik ikut membantu kakaknya 'mengurus' Ayu, daripada pusing memikirkan Rena yang penuh misteri itu.

"Kamu tetap akan berangkat kan?" selidik Bu Ola penuh tanya.

"Iya, Bu. Aku akan singkirkan prasangka burukku tentang Rena. Toh kita akan masing-masing juga di sana. Dia program S2, aku S1. Beda..., jadi buat apa segan atau takut?"

Bu Ola tersenyum lebar.

"Nah gitu maksud ibu. Perasaan kamu yang aneh-aneh itu dibuang saja. Fokus kuliah. Kalo selesai, kamu teruskan lagi. Biar bisa seperti iparmu. Pinter. Ya..., meski kadang ibu suka sebel liat dia manja sama kakakmu..."

Farid tertawa melihat wajah sewot ibunya.

"Ya, nggak salah Mas Guntur manja sama Kak Nayra, Bu..."

"Boleh. Cuma terkadang sedikit kelewatan. Apa-apa kak Naymu, dikit-dikit kak Naymu."

"Tapi Kak Nay seneng kok, Bu..."

"Ah..., iya emang seneng. Ibu juga seneng. Lucu aja liat Masmu yang tampangnya garang liat orang, tapi langsung mingkem kalo udah di depan kakakmu."

Farid terkekeh. Dia menganggukkan kepalanya menyetujui apa yang barusan ibunya katakan. Dia ingat saat berada di Eropa, Guntur tidak lupa menyelipkan waktu untuk mengirim pesan buat kakaknya. Foto di layar ponselnya saja, foto Kak Nay sedang bersepeda dari arah belakang. Entah kapan Guntur mengambil foto tersebut. Yang jelas kayaknya jauh sebelum mereka menikah.

***

Tata berdandan lebih feminim malam minggu ini. Meski rambutnya cepak, Tata mewarnainya dengan warna yang lebih natural, cokelat kepirang-pirangan. Anting-antingnya dia kurangi sedikit. Dia memakai pakaian dengan kerah turtle, agar tato di dadanya tidak terlihat. Bibirnya dia oles dengan lipstik yang berwarna lebih terang, tidak gelap seperti biasanya. Tata ingin tampil cantik sempurna di hadapan Tristan, laki-laki yang dikenalkan mamanya.

Tata tidak menampik kesempurnaan Tristan. Melalui akun Instagram, Tristan sering menggugah kegiatannya yang berhubungan dengan dunia otomotif roda empat. Laki-laki bertubuh atletis tinggi ini sangat tampan rupawan. Tidak heran, follower di akunnya hampir semuanya dari kaum perempuan. Terutama saat dirinya menggugah foto sedang mengolah tubuh di pusat kebugaran, komen-komen penuh pujian datang dari para pemuja perempuannya.

Tata tersenyum ketika ponselnya berdering.

"Hai, Ren..., pa kabar lu?"

Ternyata Sheren yang menghubungi Tata.

"Baik, Ta. Cieee udah insyaf beneran lu? Jadi malam ini?

"Jadi dong. Lu gimana? Anak lu masih flu?"

"Udah nggak. Kan tantenya yang kasih obat keren buatan Perancis... hehe..."

"Di Magelang aman?"

"Iya..., aman sentosa...,"

Tata tertawa renyah.

"Doain kali ini ya, Ren. Gue bener-bener ingin patuh sama Mama gue. Biar hidup lebih lurus ke depan,"

"Hahaha..., iya. Emang kalo kita turutin kehendak nggak habis-habis, Ta. Mending udahin aja. Capek. Masih ingat kan kita berantem dulu?"

"Iya, Ren. Haha..."

"Ya udah. Lu kasih tau gue hasil pertemuan lu dengan laki-laki tulen yang bernama Tristan. Gue seneng banget, akhirnya lu bisa berubah, Ta...,"

"Iya, Ren. Berkat lu juga..., makasih ya?"

Tata bahagia. Dukungan tidak datang dari mamanya saja, namun juga sahabat terdekatnya, Sheren. Meski sebelumnya dia dan Sheren pernah bertengkar hebat, tapi beberapa hari setelahnya, mereka berbaikan kembali. Ternyata menjadi manusia normal dan baik-baik itu melegakan diri sendiri dan orang lain. Tata sangat merasakannya.

***

FaridTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang