46. Sadar Tata

5.8K 721 39
                                    

Tata terbangun dari tidurnya. Diliriknya jam dinding yang ada di ruang tengah yang menunjukkan pukul enam pagi. Dia lalu perlahan duduk sambil memegang perutnya yang terasa sedikit agak begah, juga memegang bagian belakang pinggangnya yang terasa pegal. Ternyata tidur di sembarang tempat tidak baik buat bumil.

Pandangannya mengedar ke seluruh penjuru ruang tengah. Diamatinya semua perabot yang ada di sana, tidak ada yang berubah posisinya. Ditolehnya tiang gantungan jaket di balik pintu utama, tidak ada jaket yang tergantung. Padahal biasanya Farid selalu menggantungkan jaketnya di sana setiap saat pulang dari kampus.

Perasaan Tata mulai was-was. Dia pegang dadanya yang mulai sesak.

Tata bangkit dari duduknya, berjalan pelan menuju dapur dan mengamati ruangan itu dengan seksama. Sepertinya memang tidak ada kegiatan yang ada di dapur akhir-akhir ini, karena sangat bersih dan rapi.

Kemudian, dia melangkah menuju ruang laundry yang berada dekat dari dapur, mengamati salah satu sudut ruang laundry, tempat di mana dia melihat Farid yang terduduk lesu. Tata menggelengkan kepalanya, mengingat saat-saat Farid yang mengaku 'bercinta' dengan perempuan lain. Saat itulah terakhir Tata melihat wajah suaminya.

Tata yang sedikit mulai panik, setengah berlari menuju kamarnya.

Pandangannya mengedar kembali ke kamarnya, hingga tertuju ke barang-barang yang biasa menemani Farid di hari-harinya, laptop, ponsel dan kacamata bacanya. Tata kemudian membuka lemari bajunya dan baju suaminya. Tampak semua pakaian tersusun sangat rapih. Ditatapnya sepasang sepatu mahal yang biasa Farid pakai jika ke kampus, sepatu yang Tata belikan untuk Farid dua hari sebelum berangkat ke Caen.

Karena lapar menderanya, Tata melangkah kembali menuju dapur. Perasaannya sangat kacau saat membuka kulkas. Dia ambil kontainer makanan yang berisi rendang, lalu menghangatkannya di dalam microwave yang berada di sisi kulkas.

Sambil menunggu rendang hangat, tatapan Tata tertuju ke catatan kecil yang dia tempelkan di depan pintu kulkas.

Makan yang banyak, Rena.

Maaf

Tata menggigit bibirnya getir merasakan panas di seputar kelopak matanya. Tata mulai mengingat-ngingat awal bertemu Farid. Masa-masa yang tidak mungkin dia bisa lupa. Masa-masa di mana dia akhirnya mampu dengan mudah mengubah jati dirinya untuk menjadi perempuan seutuhnya, jatuh cinta kepada seorang laki-laki.

Tata mengelus perutnya, ada benih cintanya dan cinta suaminya di sana.

"Dia cuma ngebayangin, Ta. Itu juga karena emosi liat lu jalan ma laki-laki lain. Lu beruntung punya laki jujur kayak Farid. Emang sih berat. Tapi menurut gue mungkin karena dia merasa salah dengan apa yang dia lakukan, jadi dia ngaku. Emang..., orang jujur itu paling nggak tenang kalo dia bohong. Nggak enak menurutnya. Makanya dia lebih baik ngaku, dari pada gelisah terus-terusan."

Sehari setelah pengakuan, Tata menghubungi Sheren. Tata menceritakan apa yang sedang dia alami sekarang ke sahabatnya itu.

"Menurut gue ini masih tahap sangat wajar. Dia masih muda. Belum bijak memilah mana yang harus diceritakan ke bininya mana yang nggak semestinya diceritakan. Belum ngerti cara memahami perasaan bini. Lu tegurlah. Sampe kapan lu diamin?"

"Gue jijik liat dia, Ren. Masih kebayang-bayang di pikiran gue dia memikirkan bercinta dengan cewek lain selain gue."

"Yah..., kita nggak mungkin ngarepin pasangan kita sempurna kayak malaikat, Ta. Cowok jujur kayak Farid mah langka. Dunia cowok emang kegitu. Lu belum aja denger-denger cowok-cowok curhat mimpi basah begituan sama cewek lain..., cowok-cowok yang udah married malah. Gini aja deh, lu seenggaknya pernah ngerasain jadi cowok kan. Lu sendiri gimana dulu? sering nonton macem-macem..., sering cerita lu yang mikir sedang begituan sama cowok, cewek..., lu liat diri sendiri dulu sebelum menyalahkan orang lain. Suami lu lagi..."

Tata yang sebal dengan kata-kata Sheren --yang amat menyinggung perasaannya-- langsung menekan tombol merah yang ada di layar ponselnya. Sheren terkesan malah menyalahkannya. Menurutnya, Farid memang layak dia diamkan. Nasehat yang dituturkan Sheren ternyata tidak menyurutkan emosinya yang masih saja menyalahkan Farid. Tata tidak suka masa lalunya diungkit-ungkit.

Bunyi denting microwave membuyarkan lamunan Tata. Wangi rendang tercium ketika pintu microwave terbuka. Tata sepertinya sudah tidak sabar ingin menikmatinya.

"Makan yuk, Nak. Ini rendang buatan Papa..." desah Tata sambil mengelus perutnya yang sedikit buncit. Sepertinya dia mulai mencerna apa yang sahabatnya katakan.

***

Tata yang tidak tahu ke mana suaminya pergi, akhirnya memutuskan untuk duduk diam di kantin kampus sambil menikmati kopi latte panas kesukaannya. Tata mengamati salah satu pojok kantin yang biasanya diduduki gadis-gadis cantik muda yang merupakan mahasiswi undergraduate. Ternyata hari itu sangat awal bagi Tata, karena belum banyak mahasiswa atau mahasiswi yang berseliweran di kampus.

Tata tidak perlu lama menunggu, karena terdengar suara-suara heboh dari luar kantin. Sekumpulan gadis-gadis yang baru lulusan SMA berebutan memasuki kantin. Sepertinya mereka baru saja ke luar dari kelas.

Tata tersenyum mengamati tingkah polah mereka. Memang menggemaskan. Semua cantik-cantik, bersih-bersih pula. Apalagi jejeritan manja dari mereka cukup mengundang senyum-senyum pria-pria muda dan tua yang kebetulan ada di dalam kantin yang mulai ramai. Tata membayangkan suaminya duduk di kelas yang sama dengan gadis-gadis menggemaskan itu. Pasti sangat menyenangkan.

Dan mata Tata kini tertuju ke salah satu dari kerumunan mereka. Seorang gadis cantik berkulit putih mulus dan berambut hitam panjang berkilau. Tubuh langsingnya sangat pas dengan tinggi badannya.

Tata tidak ingin menyia-nyiakan waktunya. Dengan perasaan tenang, dia melangkah menuju gadis cantik itu.

"Hai...," sapa Tata ke gadis itu. Gadis itu sepertinya sudah menyadari bahwa dirinya akan didekati Tata. Kilat matanya menunjukkan dia sudah mengenal Tata. Juga, sikapnya biasa saja, tidak seperti seseorang yang ditegur orang yang tak dikenal. Sangat datar.

Dan tampak teman-temannya saling tatap. Ada yang sinis, ada yang senyum menyeringai, ada pula yang pura-pura pergi.

"Hai...," balasnya cuek.

______


FaridTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang