23. Pride

6K 756 44
                                    

Farid baru saja mandi sepulang dari apartemen Tata. Sebenarnya Tata menyuruhnya mandi di apartemennya. Tapi Farid menolak dengan alasan dia tidak nyaman dengan mewahnya kamar mandi di apartemen Tata. Jadilah Farid pulang dari sana dengan keadaan you know lah.

Sambil menggosok-gosok rambut keriwilnya yang menggemaskan itu dengan handuk kecil, Farid meraih ponselnya yang beberapa kali berbunyi.

"Beb..., lu bisa nggak ngelamar gue lusa..."

"F...k you..., apa-apaan, Re?"

Farid mendudukkan tubuhnya di atas dipannya. Degup jantungnya mulai terasa tidak beraturan.

"Please, Beb. Mama Papa gue datang dari Paris lusa. Hm..., terus terang gue emang belum cerita tentang lu ke mereka. Gue juga nggak cerita tentang gue yang nolak Tristan minggu lalu. Jadi, sebenarnya mereka taunya kalo gue tuh sudah nerima cincinnya Tristan."

Farid menahan napasnya sejenak. Gelisah, khawatir, takut, sudah mulai menjalar ke sekujur tubuhnya.

"Dan ternyata Papa gue sudah merencanakan acara pernikahan gue dengan Tristan minggu depan."

Farid diam. Dia menyenderkan tubuhnya di dinding yang berdekatan dengan dipannya. Tangannya terlihat gemetar menopang dahinya yang tertunduk. Farid cemas.

"Gue udah bilang ke nyokap gue kalo gue udah menolak Tristan dan sekarang gue dekat dengan elu. Nyokap gue udah bilang ok ke gue. Lu bisa lamar gue lusa malam. We will marry soon."

Farid masih menenangkan dirinya. Bukan dirinya lagi yang dia pikirkan. Kini wajah ibunya berseliweran di benaknya.

"Rena..."

"We have to do it, Baby. Lu tau kita udah jauh..."

"Tapi masalahnya ..."

Farid tidak sanggup melanjutkan kata-katanya.

"Gue datang ke elu sekarang..."

"Rena...,"

Tidak ada balasan. Hubungan terputus.

Farid lemas. Melamar Renata? Lusa?

Pikiran Farid tertuju ke acara lamaran kakaknya beberapa bulan lalu. Begitu mewah. Padahal hanya dipersiapkan dalam waktu singkat. Dia ingat sore itu dia masih bersenang-senang dengan Nayra, malamnya Nayra sudah dilamar Guntur.

Farid menelan ludahnya ketika mengingat begitu banyak anggota keluarga Guntur yang berpenampilan wah mengunjungi rumahnya yang sangat sederhana. Mereka membawa seserahan yang terdiri dari barang-barang mewah yang harganya sangat mahal. Dia juga mengingat wajah binar dan bahagia Nayra dan ibunya. Mereka merasa sangat dihargai saat menyambut dan menerima kedatangan keluarga besar Guntur. Farid mengingat sikap ibunya waktu itu yang berulang-ulang mengucapkan terima kasih kepada Bu Hanin karena bersedia meminang putri sulungnya. Dan malam lamaran itu dilewati dengan perasaan bahagia.

Farid menundukkan pandangannya. Apa mungkin dia bisa melakukan hal yang serupa? Dia tidak memiliki apa-apa. Hidupnya masih bergantung dengan penghasilan ibunya sebagai buruh cuci.

"Renaaa..." desah Farid. Dia tidak mungkin melamar Rena dengan tangan kosong.

Farid memang menganggap hubungannya dengan Tata serius. Dia sangat berharap bisa melanjutkan hubungannya ke jenjang yang lebih tinggi, pernikahan. Tapi bukan secepat ini. Dia sudah dinasihati ibunya untuk menjalani hidup yang teratur seperti kebayakan orang. Sekolah, kuliah, bekerja, mengumpulkan pundi-pundi untuk bekal menikah jika sudah memiliki tambatan hati. Lalu hidup dengan pasangan dengan perasaan tenang. Ibu bilang almarhum bapak dulu begitu.

Farid termenung. Tiba-tiba dia merindukan bapaknya yang sudah meninggalkannya selama-lamanya ketika usianya memasuki tahun keenam. Dia ingat bapaknya selalu membelikannya makanan kecil di setiap pulang dari mengajar sekolah. Selalu berkata jadi anak baik, pintar, dan penurut. Kamu pasti jadi anak yang sukses. Satu lagi pesan yang dia ingat, kamu anak laki-laki, jaga ibumu, jaga perasaannya. Farid menahan napasnya mengingat pesan bapaknya seminggu sebelum kecelakaan itu terjadi. Dia tidak tahu arti pesan itu karena dirinya masih sangat kecil waktu itu. Yang dia ingat, bapaknya berkata demikian ketika mengajaknya di arena bermain dekat dengan sekolah tempatnya mengajar.

______

Reaksi Bu Ola tidak semangat ketika Farid melapor perihal percakapannya dengan Tata lewat telepon genggamnya. Dia baru saja pulang dari arisan pengajian ibu-ibu di rumah tetangganya.

"Maaf, Bu," ucap Farid.

Mereka duduk berdua di kursi jati lawas di ruang tamu.

"Terus kamu mau lamar dia, Le?"

Farid menggeleng. Tapi tatapannya kosong.

"Hm..., ya nggak usah maksakan diri, Le. Kamu itu masih muda. Usia kamu saja belum masuk persyaratan menikah. Tahun depan baru bisa. Kecuali kalo punya uang berlebih untuk urusan meyakinkan aparat. Ya kita mana sanggup..."

Farid terdiam. Usia menikah minimal sembilan belas, sementara dirinya masih delapan belas. Masih beberapa bulan lagi menuju ke sembilan belas. Farid memejamkan matanya menyadari dirinya ternyata masih sangat terlalu muda untuk menikah. Apa Tata tidak berpikir demikian?

"Kamu melamar Rena pake apa, Le? Nggak mungkin kita melamar ke sana dengan tangan kosong. Harga dirimu ke mana? Jangan mentang-mentang dia kaya raya, main suruh-suruh melamar..., trus kita gujlug-gujlug kayak kebo dicokok hidung datang melamar. Nggak begitu caranya..."

Bu Ola menepuk-nepuk jarik bawahannya.

"Apalagi dia itu wong sugih, Le. Ibu tau. Ibu yo paham dia tulus mencintai kamu. Makanya ibu nggak khawatir dengan hubungan kalian berdua. Tapi masalahnya adalah melamar itu bukan hal yang main-main."

Farid menatap sudut-sudut meja tamu dengan tatapan hampa.

"Meski dia punya masa lalu yang kelam, bukan berarti kita sembarangan melamar..., dia tetap kita hargai."

Farid menghela napas kecewa. Bukan kecewa karena ucapan ibunya, bukan kecewa karena keadaan dirinya yang memang tidak layak untuk melamar seseorang. Farid hanya kecewa karena Tata memintanya melamar di saat waktu yang tidak tepat. Ini terlalu cepat.

"Hah..., apalagi kamu bilang keluarganya di luar negeri semua. Kaya-kaya. Duh..., ngenes ibu ngebayangin kamu datang ke sana celingak celinguk, nggak bawa apa-apa. Mbok ya pelan-pelan..., ibu tu berharap kamu itu kuliah dengan baik..., luar negeri loh. Lebih gampang mendapatkan pekerjaan di mana saja di dunia ini. Setelah itu yo cari kerjo..., cari duit yang akeh..., bukan untuk ibu, bukan untuk mamer-mamer sukses. Tapi siapa tau kamu menemukan perempuan yang kamu cintai, dan kamu berniat melamarnya. Ya..., setidaknya ada modal atau ada sesuatu yang kamu bawa saat melamar..., nggak dengan tangan kosong. Apik toh?"

Bu Ola menyusuri matanya yang mulai berair. Ini yang dia sedihi. Memiliki anak laki-laki yang kelak akan melamar seseorang. Dan tentu saja harus memiliki modal materi yang tidak sedikit. Bu Ola sangat mengharapkan Farid bisa melalui pendidikannya lebih tinggi, biar dia bisa mendapatkan kesuksesan lahir batin, sehingga dia bisa memiliki 'modal' untuk hidup mandiri.

"Baik, Bu. Aku ngerti. Aku akan turut kata-kata ibu..."

"Wes..., nggak usah nyesal nolak Ayu..., nggak usah nyesel nggak bisa lamar Rena."

Farid tersenyum ketika ibunya menyebut nama Ayu.

"Ibu..., itu bukan aku, Bu. Saat aku putuskan memilih Rena, bukan berarti suatu saat aku balik suka dengan Ayu. Aku sudah tidak punya perasaan apa-apa dengan dia. Kalaupun memang aku nggak bisa sama-sama Rena..., yah..., berarti emang saatnya aku fokus kuliah."

Bu Ola mengusap-usap lengan Farid.

"Cah bagus... Bawa tenang perasaan kamu, Le. Segala sesuatu itu dihadapkan dengan perasaan tenang, biar berakhir dengan tenang pula..., dimulai dengan cara yang baik, pasti berakhir dengan baik pula."

Farid kini bisa tersenyum. Berdekatan dengan ibunya dan mendengar kata-kata ibunya memang sangat menenangkan.

"Hidup itu harus bisa ngukur diri, Le. Jangan maksa keinginan."

"Nggeh, Bu,"

"Jangan kecewa dengan hidup kamu yang kurang beruntung..."

"Nggak, Bu. Aku malah merasa sangat beruntung hidup seperti ini. Memiliki ibu..., yang selalu bikin aku tenang..."

Farid langsung memeluk ibunya sambil berusaha menahan tangis.

***

FaridTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang