25. Asa Buat Farid

6.2K 799 72
                                    

Malam larut itu Farid mengantar Tata pulang menuju apartemen dengan mengendarai motor besar Tata. Awalnya Farid agak kikuk mengendarai motor mewah itu, tapi hanya beberapa menit dia diajari Tata, Farid bisa menguasainya.

Tata peluk tubuh Farid kuat-kuat,

"Kok gue rasanya kepingin balik ke dunia gue dulu ya, Rid..."

"Jangan, Re..."

"Rasanya bebas..., nggak perlu mikirin pernikahan yang ribet,"

"Please, Re. Jangan..."

"Apa gue minta Papa gue tunda rencana dia ya?"

"Lu hargai permintaan orang tua lu. Lu kan udah mau ama Tristan. Lu kan udah janji."

"Ada lu, Beb. Gue nggak kuat... kita baru jadian beberapa hari..., janji gue bukan menikah dengan Tristan, Beb. Janji gue jadi orang normal..."

"Juga janji lu nuruti kata-kata mereka..."

"Mama udah bolehin lu lamar gue..."

"Masalahnya gue nggak punya apa-apa. Lagipula kalo punya juga gue masih muda..., belum cukup umur. Lu pikir la, Re. Hm..., be grown up..."

Tata meletakkan kepalanya di belakang punggung Farid, sambil terus memeluk Farid erat.

"Jangan sia-siain apa yang Papamama lu mau dari lu. Mereka jodohin lu ama Tristan itu bentuk peduli mereka ama lu. Mereka bangga ama lu, Re. Percaya deh ama gue. Lu menikah, kuliah S2 di Caen, deket lagi ama orang tua lu, lu setting masa depan lu ama Tristan, lu nggak sendiri lagi, lu pasti hepi kumpul-kumpul ama keluarga lu. Gue yakin pasti indah banget..."

Tata hanya diam mendengar celoteh Farid yang mengendarai motor dengan perlahan menuju apartemen. Ingin sekali dia memaksa Farid melamarnya lusa. Tapi keadaan memang tidak berpihak kepadanya. Usianya yang terlalu muda, Farid juga belum mapan, Farid bukan dari keluarga kaya seperti dia. Dia mau saja menunggu Farid beberapa tahun lalu lagi, mengikuti alur yang ditawarkan Bu Ola, kuliah, kerja, mengumpulkan uang, baru melamarnya. Namun mengingat usianya yang semakin bertambah, mengingat janjinya kepada mamapapanya untuk menjadi yang lebih baik, Tata semakin tidak kuasa menolak.

Masih ingat di benak Tata, wajah mamanya penuh haru ketika dia mengaku sudah berubah tidak lagi menyuka sesama jenis. Apalagi saat dirinya berjanji akan menuruti kata-kata mama dan papanya, Lizett tak sanggup menahan tangis haru hingga berucap doa dan harapan yang panjang dan indah untuk putri satu-satunya itu. Tidak mungkin bagi Tata menarik lagi janjinya dan kembali seperti dulu. Itu pasti sangat mengecewakan juga menyakitkan.

Dan sekarang dia dipinta menikah. Alasan Lizett cukup beralasan, Tata cukup umur, Lizett ingin Tata hidup sempurna, tidak sendirian dan ada yang mengurusnya. Lizett ingin anaknya tidak lagi terjebak dengan kehidupan suram. Yang membuat Lizett sangat yakin adalah Tristan adalah pria yang baik. Dia juga mengetahui masa lalu Tata, mau menerima Tata apa adanya. Terlebih, Tristan masih kerabat dekat Papa tiri Tata, Corrin Deschamps.

Kini Tata hanya dapat memeluk Farid sekencang mungkin. Dia masih berharap ada keajaiban untuk bisa hidup bersama-sama dengan Farid.

"Udah..., ini bukan berarti kita pisah, Re. Kan tahun depan kita masih sama-sama ke Caen. Hm..., lupain apa yang udah kita lewati. Lu pasti bisa. Gue nurut ibu gue, lu nurut mamapapa lu. lebih baik begitu." Farid masih berusaha menenangkan Tata ketika mereka sudah sampai di depan gedung apartemen.

Farid sejenak mendongakkan kepalanya mengamati gedung tinggi tersebut, sedikit sesak dia rasakan dalam dada begitu mengingat apa yang dia lakukan bersama Tata di salah satu ruangan gedung apartemen itu.

"Lu balik, Re..."

"Lu yang balik badan..., gue tau lu nggak suka liat punggung gue kan?"

Farid tersenyum menunduk. Dipeluknya Tata sekali lagi yang sudah siap-siap mengalihkan motornya menuju gedung apartemennya.

"Gue nggak mau menghilang. Biar giliran gue yang liat punggung lu, Beb..." ujar Tata serak.

Farid menurut. Dengan santai di balikkan badannya melangkah mantap menuju gerbang apartemen.

Bukan main Tata sedih. Air matanya tumpah begitu saja. Akhirnya dia rasakan juga apa yang Farid rasakan saat beberapa kali membayangkan punggungnya berlalu dari hadapannya.

Dan malam larut itu dilewati Farid dan Tata dengan perasaan gundah.

Setiba di ruang apartemen, Tata langsung duduk di balkon sambil menenangkan diri dengan sebatang rokok. Tata sebenarnya sudah berhenti merokok, entah kenapa malam ini dia merasa sangat sepi. Dia masih tidak rela bayang-bayang wajah Farid hilang dari benaknya. Padahal, selama beberapa bulan terakhir, membayangkan wajah Farid saja sudah membuatnya tidak merasa sendiri.

Lain lagi Farid. Dia duduk jongkok di sudut kamarnya dengan memangku wajahnya di atas dua lengannya yang bertumpu di atas dua lututnya yang beradu. Dia tumpahkan segala rasa kesedihan dengan menangis sepuas-puasnya di sana. Berharap, sedih dan tangisnya hanya ada malam ini saja.

____

Sementara itu Bu Ola yang sebenarnya tidak tidur, menatap nanar sebuah kotak berisi beberapa perhiasan miliknya yang dia simpan di balik lipatan baju di lemarinya. Dia pegang dadanya erat-erat saat didengarnya tangis Farid yang mendayu-dayu di tengah malam itu.

Ini kali pertama dia mendengar putranya itu menangis sejadi-jadinya. Farid tidak pernah menyusahkan hatinya. Farid tidak pernah mengeluh, dia tidak pernah menangis sesenggukan seperti malam ini.

Hati Bu Ola ikut tersayat mendengar tangisan anak lelaki tercintanya. Rasanya ingin segera dia serahkan saja perhiasan itu ke perempuan yang dia cinta, untuk membayar kesedihan anak kesayangannya.

***

FaridTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang