62. Sesal Farid

5.2K 768 56
                                    


Farid heran dengan kedatangan Akhyar ke apartemennya malam ini. Akhyar datang seorang diri. Agak aneh melihat Akhyar sendirian, karena biasanya dia selalu didampingi beberapa pengawal ke manapun dia pergi.

Meski pria setengah baya itu terlihat sangat bugar dan lebih gagah daripada sebelumnya, tapi Farid tahu ada masalah berat yang tengah Akhyar pikirkan. Dan pasti berkaitan dengan ibunya. Hanya Farid belum bisa menduga-duga masalah yang tengah dihadapi Akhyar kali ini.

Akhyar langsung memeluk tubuh Farid erat saat Farid baru saja membuka pintu apartemennya. Farid menyambutnya hangat.

"Mana Hera?" tanya Akhyar. Suaranya terdengar sangat berat.

Belum sempat Farid membalikkan badannya hendak memanggil Hera, Hera sudah berlarian memburu Akhyar yang masih berdiri di depan pintu depan apartemen.

Hera berteriak kencang juga senang begitu Akhyar merentangkan kedua tangannya dan meraup tubuh mungilnya, lalu menggendongnya. Wajah Akhyar pun seketika berubah senang dan tidak segundah sebelumnya.

"Ma belle petite fille (gadis kecilku yang cantik)..." Akhyar setengah menggelitik perut gendut Hera.

"It's ticklish, Njid. Ne faites pas cela (Geli, Njid. Jangan gelitikin...)"

"Hah? You speak English?"

Hera mengangguk cepat. 

"C'est chatouilleuse? Ah? (Ini geli ya? ah?)," Bukannya menghentikan, Akhyar malah semakin gemas menggelitik perut Hera.

Hera yang tampak senang memegang dua pipi Akhyar seraya menatap tajam mata Akhyar.

Sesak dada Akhyar melihat mata kecil Hera, dia teringat Ola. Mata Hera persis mata Ola. Sangat mirip. Teduh dan menyejukkan.

Akhyar cepat-cepat menyerahkan Hera ke Tata yang juga menyambutnya. Matanya mengerjap sedih.

Tata dan Farid saling pandang.

"Daddy kita makan dulu ya? Kita masak nasi mandi. Khusus buat Daddy..."

Akhyar mengangguk setuju.

***

Farid tertunduk lesu setelah mendengar cerita lengkap Akhyar mengenai kabar ibunya sekarang yang berada di dalam penjara. Dari awal Akhyar berusaha mendekatinya, sempat menjalin hubungan percintaan dan putus, hingga berakhir di dalam penjara. Akhyar berusaha menjelaskan secara rinci kejadian demi kejadian agar Farid mengerti duduk permasalahan yang sebenarnya.

"Ibu memang begitu, Pak. Nggak senang kalo kita nanya-nanya tentang kematian Bapak. Dia kepinginnya kita tuh senang. Dia lebih senang kalo kita tanya tentang percintaannya dengan Almarhum Bapak. Masa-masa senang pacaran hingga menikah. Kalo kita tanya siapa yang nabrak, wajahnya langsung cemberut. Sejak kecil hingga sekarang saya dan Kak Nay nggak pernah lagi nanya-nanya soal kematian Bapak..."

Akhyar menelan ludahnya kelu. Dia tatap wajah Farid yang tertunduk dengan tangan bertaut di atas lututnya yang terlihat gemetar. Ada rasa sedih yang mendalam setelah mendengar tanggapan Farid. Farid sangat berubah di matanya malam itu. Dia mencoba berusaha memaklumi.

"Farid..." lirihnya pelan. Dia sentuh tangan Farid yang gemetar.

"Maafkan Papa... Kamu nggak harus berubah manggil Papa. Papa mohon..." ucapnya.

"Ini memang salah Papa yang mengusik kematian Bapakmu, Farid. Tapi niat Papa ingin meluruskan..." Akhyar menggantungkan kalimatnya.

Farid mengangkat wajahnya perlahan, memberanikan diri menatap Akhyar.

Bukan main Akhyar sedih. Wajah Farid penuh linangan air mata.

"Tapi Bapak kecewakan Ibu saya. Dengan menyangka bahwa Ibu saya sengaja berbuat itu dan berselingkuh. Bapak nggak berusaha meluruskan..., tapi membuat semuanya jadi rumit..."

Akhyar merasakan sesak di dadanya sekarang. Dia sadar pasti sulit bagi Farid untuk menerima keberadaan ibunya.

"Papa tau Papa salah, Farid. Papa minta maaf. Tapi Papa mohon, kita kerjasama keluarkan ibumu dari penjara. Kita luruskan sama-sama..."

"Kita?"

"Farid?"

"Semudah itu?"

"Farid..., Papa minta maaf..."

"Kamu bukan..."

Farid tidak sanggup melanjutkan kata-katanya. Tenggorokannya tercekat, seakan ada yang menarik lidahnya.

Akhyar memejamkan matanya. Dia hela napasnya panjang. Dia pahami apa yang Farid rasakan sekarang.

"Baik, Nak. Apapun kamu, Farid. Apapun yang kamu pikirkan tentang Papa, Kamu tetap anak Papa. Karena Papa sangat mencintai ibumu. Ibumu juga cinta Papa."

Akhyar pasrah. Dia bangkit perlahan dari duduknya seraya meraih jaket dan kopor kecilnya. Akhyar langkahkan kakinya menuju pintu depan apartemen.

Farid tertunduk lesu. Berat baginya menghadapi kenyataan bahwa orang yang sangat dia cinta berada di dalam tahanan. Disebabkan kebodohan yang dimanfaatkan orang-orang. Pilu rasanya membayangkan hidup ibunya. Orang yang telah melahirkannya, mati-matian berjuang demi cita-citanya, cinta dan masa depannya.

Dan orang yang menyebabkan penderitaan ibunya datang menemuinya malam ini. Meminta maaf? Setelah sekian bulan? Orang yang telah abaikan nasib ibunya?

Farid terisak hebat. Dia tumpahkan tangisnya malam itu sendiri di sisi ruang dapur. Dia teringat semua yang pernah ibunya ajarkan kepadanya. Belajar memaafkan kesalahan seseorang yang pernah berbuat tidak baik.

Farid teringat kisah cintanya dengan Tata. Dia yang pada awalnya sulit menerima kenyataan bahwa Tata pernah berniat jahat terhadap Nayra, namun berkat ajaran ibunya, dia maafkan masa lalu Tata.

Farid yang masih terisak tersadar ketika mendengar bunyi pintu apartemen.

Farid bangkit dari duduknya, setengah berlari melangkah pintu depan.

"Papaaaa..." serunya tertahan. Dia tahan tangan Akhyar dengan sigap, menariknya serta memeluknya kuat-kuat.

"Papaaa. Tinggallah di sini..." isaknya hebat. Setelahnya dia tidak sanggup berkata apa-apa lagi selain menangis.

Akhyar sambut pelukan hangat Farid.

"Papa janji, Farid. Papa akan angkat derajat ibumu setinggi mungkin setelah ke luar dari penjara nanti. Maafkan Papa..."

***

Gemetar tubuh Tata mendengar cerita suaminya mengenai kabar mertuanya. Tak tahan, dia pun meraung-raung memanggil-manggil ibu mertuanya.

"Aku mau ikut, Mas..." amuk Tata. "Aku mau lihat Ibuuuu," teriaknya penuh sesal.

Farid cepat-cepat menenangkan istrinya yang masih meraung, menangisi nasib ibunya.

"Nggak usah, Sayang. Ini demi ibu juga. Dia pasti sedih kalo liat kita ke sana. Aku tahu ibu, Sayang. Kamu dan Hera tinggallah di Paris. Biar aku dan Papa yang urus Ibu. Kita harus selesaikan masalah ibu dengan pikiran setenang mungkin."

***

FaridTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang