27. Go Ask Her

6K 810 67
                                    

Begitu bangun dari tidur, Farid langsung melangkah menuju kamar mandi, membersihkan seluruh tubuhnya sambil memastikan wajahnya tidak terlihat sembab karena menangis semalaman. Dia tidak ingin ibunya mengetahui kesedihan mendalam yang dia rasakan sejak melepas Tata pergi.

Farid yang sudah bersih, mencoba mengusir pikiran-pikirannya dari bayang-bayang Tata dengan membaca buku-buku yang sudah dia baca sebelumnya di awal pagi. Kali ini bukan novel yang dia baca, tapi buku-buku yang berkaitan dengan kuliahnya nanti di Caen. Farid tidak ingin membaca kisah-kisah romantis yang akan menggiringnya untuk mengingat kisah cintanya yang harus selesai. Lebih baik dia sibukkan pikirannya dengan hal-hal lain saja.

Tak lama kemudian, terdengar suara minyak goreng yang beradu dengan bawang dari dapur. Aroma wangi bawang goreng pun tercium oleh Farid yang sedang asyik membaca buku. Farid tersenyum. Ini yang membuat awal harinya selalu semangat, nasi goreng buatan ibu dengan bumbu sederhana, garam dan bawang, serta sedikit penyedap rasa. Dihiasi telur mata sapi, timun dan sedikit ikan teri goreng. Ditutup secangkir teh poci hangat.

Farid yang membayangkan sarapan paginya menyudahi bacaannya. Dengan semangat dia ke luar dari kamar melangkah menuju dapur. Didapatnya ibunya sedang menyiapkan sarapan pagi.

"Bu. Hari ini rencananya aku mau pergi ke perpustakaan, sekalian ke mall mau liat-liat jaket musim dingin. Liat doang, belinya ntar pas dekat-dekat berangkat ke Caen..." ujar Farid seraya meraih bakul rotan yang berisi nasi goreng dari tangan ibunya. Lalu dia letakkan di atas meja makan. Wajah Farid sangat sumringah.

"Kamu nggak usah ke mana-mana hari ini..."

Farid sedikit tersentak mendengar tanggapan ibunya. Tumben, biasanya ibunya paling semangat jika mendengar kata-kata perpustakaan atau kata-kata yang berhubungan dengan kegiatan belajar.

"Ada yang ingin ibu bicarakan..."

"Masalah apa, Bu? Rena? Udah, Bu. Aku udah relakan..."

Farid lalu mengisi dua piring kosong dengan dua sendok besar nasi goreng, untuk ibunya dan untuk dirinya sendiri. Kemudian Farid duduk rapi sambil mengambil asesoris untuk nasi gorengnya yang masih polos.

Bu Ola mengamati wajah Farid yang sedikit cemberut. Dia tahu Farid pasti masih sedih.

"Iya. Tapi terserah kamu apa mau dengar ibu kali ini atau tidak..."

Farid diam saja. Dia sudah mulai mendaratkan suapan demi suapan nasi goreng ke mulutnya.

Dan sarapan pagi itu dilewati keduanya dengan diam. Padahal biasanya ada saja bahan pembicaraan saat sarapan. Keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing, Bu Ola yang ingin membahas Tata, dan Farid yang ingin segera pergi dari rumahnya membuang pikiran yang berhubungan dengan kejadian semalam. Tak sabar rasanya ingin langsung berada di dalam ruangan yang penuh buku.

______

"Bu... nggak perlu sejauh ini. Ini simpanan ibu. Aku sudah rela dia nikah dengan laki-laki yang lebih siap. Dan aku yakin Rena pasti bahagia karena akan lebih dekat dengan keluarganya," tolak Farid saat ibunya menunjukkan sekotak perhiasan hasil tabungan selama bertahun-tahun. Bu Ola bertekad ingin Farid melamar Tata besok malam.

"Setidaknya kamu perjuangkan dia, Le. Meski ditolak," ujar Bu Ola yang menyusuri ujung matanya.

Farid menggelengkan kepalanya.

"Ini taksirannya sekitar tiga puluh sembilan juta. Ibu nggak yakin Rena mau menikah dengan lelaki lain selain kamu. Kalopun harus menikah, dia pasti nggak bahagia. Apa kamu mau dia nggak bahagia? Kamu juga pasti nggak senang. Ini hanya awal kamu bertekad melupakannya. Selanjutnya? Pasti menyakitkan. Ibu nggak mau, Le. Setidaknya kamu berusaha."

Farid terdiam. Bayang-bayang wajah Tata yang sedih semalam kembali mengusik pikirannya.

"Aku malu kalo ditolak, Bu..., bukannya aku meremehkan dengan ini semua. Ini tidak seberapa bagi mereka..."

"Ibu tau. Rid. Ini memang tidak seberapa. Tapi nilai perjuangan kamu yang melebihi segalanya."

Farid tertunduk. Dia kembali terisak. Bu Ola mengusap bahunya pelan.

"Nggak perlu kasih tau Kak Nayra dan Mas Gunmu atau keluarga Bu Hanin. Ibu juga nggak mau mengganggu permasalahan mereka. Biar mereka selesaikan masalah Ayu tanpa repot-repot memikirkan lamaran ini. Ibu juga nggak mau melibatkan tetangga. Biar kita berdua saja pergi bertemu dengan orang tua Rena."

"Ibu. Nggak perlu..."

Farid peluk ibunya kuat-kuat. Lalu terdengar isak tangisnya.

"Lamarlah Rena. Ibu tau kamu sudah siap mental. Meski usia kamu sangat muda. Perjuangkan Rena sama-sama ibu, Le. Anggap ini perjuangan terakhir kamu. Biar kamu nggak dianggap pengecut oleh Rena. Ajak Rena hidup bersama kamu. Berjuang dan belajar bersama di luar negeri sama-sama. Kamu pasti mengharapkan itu semua kan? Rena juga pasti gitu..."

Bu Ola terus mendekap Farid seraya mengusap-usap kepalanya penuh rasa sayang.

"Kalo pun ditolak. Kamu nggak perlu resah. Cuma kita berdua yang menanggung malu. Kamu nggak akan malu di depan Kak Nayra, Mas Guntur, keluarga Bu Hanin atau tetangga, karena hanya kamu dan ibu yang tau. Kita usahakan dulu, Le..., Ibu nggak mau kamu sedih. Biar kamu lega, karena kamu sudah berjuang..."

Farid terus terisak. Tak sanggup rasanya menahan haru luar biasa. Entah berapa kali dia berucap bahagiakan ibuku, ya Tuhan... sampai ajal menjemputnya di dalam hati.

"Ajak Rena tinggal di sini kalo dia bersedia. Biar ibu juga tetap merasakan kehadiran Nayra. Ibu kadang rindu. Kalo pun kalian nanti berangkat berdua meninggalkan ibu, setidaknya ibu senang membayangkan kalian hidup bersama saling sayang, saling kasih, saling cinta...,"

Bu Ola menutup kembali kotak berisi perhiasan emasnya. Dia sangat berharap Farid mau melakukan apa yang dia inginkan.

Semalam bu Ola menguping pembicaraan Tata dan Farid. Dia sangat tersentuh mendengar kata-kata Farid yang berulang kali menyatakan kekhawatiran perasaannya sebagai ibu jika seandainya Farid tetap dipaksa melamar. Ini berarti Farid mau saja melamar Rena kalau Bu Ola menyetujuinya. Bu Ola pun lalu berpikir sebaiknya dirinya juga menimbang perasaan anaknya itu yang pasti sedih menghadapi kenyataan bahwa kekasihnya harus menikah dengan orang lain.

Mata Bu Ola langsung tertuju ke lemari pakaiannya. Ada beberapa harta berharganya yang dia simpan di sana. Sekotak perhiasan hasil tabungannya selama menjadi buruh cuci dan mengolah jamu bertahun-tahun. Tidak banyak, tapi setidaknya ada yang bisa dia serahkan ke hadapan keluarga Tata jika dia ikut menemani Farid melamar.

"Ajak dia berjuang bersama-sama. Bukan kamu yang ke sana. Tapi kamulah yang ajak dia ke mari. Itulah harga diri kamu yang sesungguhnya. 

***

Rena. Lu mau nggak kita berjuang sama-sama dari bawah.

Maksud lu?

..., Gue lamar lu besok...

______

FaridTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang