14. Aku Sayang Dia

6.9K 867 44
                                    


Pagi-pagi sekali, Bu Ola sudah sibuk di dapur. Tata ikut membantunya mempersiapkan sarapan pagi. Sementara Farid sibuk mengecek dan membersihkan motornya di depan pekarangan rumahnya. Biasanya, Farid yang membantu ibunya di dapur. Tapi Tata sudah lebih awal memburu Bu Ola pagi itu.

"Nyenyak tidur kamu, Rena?" tanya Bu Ola sambil mengaduk-aduk nasi goreng yang tengah dia masak.

"Iya, Tante. Kamar Nayra nyaman banget. Apalagi denger suara hujan yang masih nyisa semalam..., bikin nyenyak tidur," tanggap Tata yang sedang menata meja makan.

"Bukannya berisik?"

Tata tertawa kecil.

"Berisik, tapi nggak ganggu. Enak juga dengar rintik hujan kalo sedang mau tidur. Baru sekali dengerin rintik-rintik hujan, Tante..."

Bu Ola tersenyum mendengar tanggapan Tata.

Dia lalu menumpahkan nasi goreng buatannya ke dalam wadah yang sudah disiapkan Tata di atas meja.

"Panggil Farid, Rena. Kita sarapan sama-sama..." perintah Bu Ola. Tata langsung bergegas ke luar dari dapur.

Bu Ola agak lama mengamati punggung Tata yang berlalu darinya. Matanya mengerjap mengingat pembicaraan antara Tata dan Farid semalam. Bu Ola cukup tersentuh mendengar kisah Tata. Tidak banyak gadis yang bisa kuat menghadapi masalah hidup yang begitu berat. Sedikit memuji anak sulungnya, Nayra, sebagai gadis yang kuat menghadapi berbagai persoalan. Baginya, Tata juga gadis kuat.

Bu Ola menyusuri air matanya mengingat kata-kata sedih Tata semalam kala mengungkapkan perasaannya terhadap anaknya. Lebih sedih lagi mendengar suara Farid yang sedikit ketus memarahi Tata. Farid tidak pernah segusar semalam.

Beberapa saat kemudian, muncul Tata dan Farid di dapur. Tata langsung duduk di hadapan meja makan. Dan Farid bergegas ke sink dapur, mencuci tangannya.

"Biasanya sarapan pagi kamu nasi goreng juga, Rena?" tanya Bu Ola seraya menuangkan dua sendok besar nasi goreng ke pinggan untuk Tata.

"Nggak, Tante. Rena biasa ngopi."

"Oh. Mau Tante buatkan?"

"Nggak usah, Tante. Kopinya... beda. Rena kurang suka kopi tubruk."

Bu Ola dan Farid saling pandang. Bu Ola lalu menuangkan nasi goreng ke piring Farid.

"Oh..., yang kayak di café-café ya?" Bu Ola berusaha mencairkan suasana. Karena Farid hanya diam membisu. Wajahnya pun datar tak berekspresi.

Tata tertawa renyah. Diliriknya Farid.

"Nggak juga, Tante. Hm..., Rena olah pake mesin pembuat kopi. Buat sendiri. Lebih enak soalnya daripada yang dibuat di café-café."

Bu Ola mengangguk-angguk, berusaha memahami gaya hidup Tata yang memang sedikit berbeda.

Hening setelahnya, karena mereka bertiga mulai menyantap sarapan nasi goreng buatan Bu Ola.

Mata Tata sebentar-sebentar melirik Farid yang hanya diam, tapi tetap mengunyah. Sejak berpapasan dengan Farid yang hendak ke kamar mandi di awal pagi, Farid sudah menunjukkan wajah tidak sukanya ke Tata. Seakan-akan ingin menyuruhnya cepat-cepat pergi dari rumahnya.

Kini, perasaan gundah tidak dapat dia elak. Apa boleh buat, ini memang salahnya. Membuat keputusan seenaknya datang ke rumah Farid, tanpa meminta persetujuan Farid. Apalagi dia juga membuat seseorang kecewa semalam, Tristan. Dan ulahnya malah berujung kekecewaan Farid, yang merasa menjadi penghalang acara kencannya.

Tata sudah menghabiskan sarapan paginya. Diliriknya sekilas Bu Ola dan Farid yang masih menyantap sarapan pagi mereka. Keduanya tampak tidak begitu semangat.

Tata semakin merasa terpojok. Perasaan bersalah kian menyelimuti dirinya. Kehadirannya benar-benar membuat suasana rumah itu sangat runyam.

"Rena duluan, Tante. Hm..., mau siap-siap," ucap Tata sambil mengambil piring dan gelas kotornya dari meja makan. Tata berusaha sepelan dan sesopan mungkin beranjak dari meja makan menuju sink dapur. Meletakkan alat-alat makannya yang kotor dan mencucinya. Gamang dirasakan Tata saat mencuci piring, dia tahu sikapnya kurang sopan karena meninggalkan orang yang masih menyantap makanan di meja makan. Tapi tekadnya untuk segera pergi sangat kuat. Dia tidak ingin lagi menyebabkan perasaan orang-orang baik ini menjadi susah karena kehadirannya.

Setelah mencuci piring kotornya, Tata bergegas menuju kamar Nayra.

Bu Ola menoleh ke arah Farid yang wajahnya masih murung ketika terdengar bunyi pintu kamar Nayra tertutup rapat.

"Terima maafnya, Nak. Hargai usahanya. Dia baik..." ujar Bu Ola pelan.

Farid menatap cangkir tehnya dengan tatapan kosong. Raut wajahnya masih terlihat sangat kesal.

"Udah, Bu. Semalam dia udah minta maaf. Aku maafin..."

"Memaafkan diiringi dengan sikap. Kalo sikap kamu dingin begini, itu kamu belum sepenuhnya memaafkan. Apa lagi yang kamu pikirkan? Seharusnya kalo kamu benar-benar sudah memaafkan perbuatan dia, setidaknya kamu nggak murung begini, supaya dia lega. Tapi kenyataannya kamu masih diam, tentu dia merasa nggak enak." Bu Ola sebentar-sebentar menoleh ke pintu kamar Nayra. Dia merasa kasihan dengan Tata. Meski penampakan Tata terlihat baik-baik saja, bahkan terkesan hedonis, tapi Bu Ola tahu Tata butuh seseorang yang mau mendengar keluh kesahnya selama hidupnya.

Bu Ola kemudian memperhatikan Farid yang masih diam sambil memutar-mutar cangkir tehnya. Farid seperti memikirkan sesuatu.

"Ada apa, Nak..., nggak biasanya kamu begini. Biasanya kamu cepat lupa kalo ada sesuatu yang bikin kamu sedih. Kamu juga biasanya langsung cari jalan ke luar kalo sedang punya masalah. Jika ada yang mengganggu hati dan pikiran, cepat kasih tau ibu. Ibu sedih kalo kamu murung."

Farid menghela napas panjang.

"Aku sayang dia, Bu..." ujar Farid pelan.

Bu Ola tersenyum. Dilihatnya wajah Farid yang sangat murung setelah menyatakan perasaan yang sesungguhnya terhadap Tata. Diraihnya tangan Farid dan menggenggamnya.

"Aku takut ibu kecewa dengan perasaanku. Kecewa dengan perempuan yang ada di hatiku. Karena dia banyak kekurangan. Bahkan hampir saja menghancurkan kita. Tapi entah kenapa aku sayang..."

Farid tidak berani menatap wajah ibunya. Tapi setelahnya dia menghela lega, karena dia sudah mampu mengatakan apa yang ada di lubuk hatinya yang paling dalam.

Tidak lama kemudian terdengar bunyi pintu kamar Nayra yang terbuka. Muncul Tata yang sudah rapi dan siap pergi dari rumah Bu Ola. Dengan senyumnya yang lebar, dia melangkah memburu Bu Ola.

"Pamit, Tante...," ucapnya seraya meraih tangan kanan Bu Ola dan mencium punggungnya. Tata juga menyodorkan tangannya ke hadapan Farid.

"Gue pinjam baju lu dulu, Farid," ujar Tata lagi sambil menjabat tangan Farid. Farid mengangguk kecil.

Setelahnya, Farid hanya dapat menunduk seakan tak sanggup melihat punggung Tata yang menjauh menuju pintu depan.

"Susul, Rid. Jangan disimpan-simpan perasaan kamu."

________

FaridTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang