بسم الله الرحمن الرحيم
_____
Mimpi itu seperti bayangan, saat dikejar seakan menjauh dan saat dibiarkan terus mengikuti.
_____
Saat pelajaran sejarah berlangsung bersama Ustadz Irfan, pikiranku kosong. Aku menunduk sambil menangis dalam diam. Aku memang bukan siapa-siapanya, tapi aku bisa merasakannya. Kehilangannya ibunya seperti kehilangan ibuku sendiri, seakan separuh nyawaku pun hilang. Bagaimana kabarnya? Pertanyaan yang terus saja menghantui pikiranku. Tapi aku yakin bahwa Atha kuat.
Seusai pelajaran, aku dan teman-temanku berkumpul di parkiran pesantren. Aku sedikit menjauh dari mereka agar mereka tidak curiga jika aku menangis. Hal terberat yang kuhadapi adalah tetap tersenyum meski hati sedang hancur. Lagi-lagi mataku berkaca-kaca, air mataku sudah berkumpul di pelupuk mata. Saat itu juga, tiba-tiba Alif menghampiriku.
"Kamu kenapa?" tanyanya saat melihat aku terus mengucek mataku.
"Ini mataku kemasukan serangga, perih banget," alibiku sambil terus mengucek mataku dan sesekali melihatnya di spion motor.
"Coba basuh pakek air sana, jangan dikucek terus nanti malah lebih sakit," tuturnya.
"Iya, aku mau ke toilet dulu," ucapku lantas pergi menuju ke toilet pesantren.
Lagi dan lagi air mataku mengalir. Aku masih terasa mimpi saat ini. Sesekali aku menyadarkan diriku bahwa ini nyata, ini bukan mimpi belaka. Kenapa aku jadi seperti ini? Aku tidak ada ikatan apapun dengan keluarga mereka. Mungkin di keluarga mereka yang mengenalku hanya Atha dan Naja. Tapi aku merasa ada tali pengikat antara aku dan keluarganya.
Aku mencuci muka sambil memastikan bahwa aku tidak terlihat seperti orang yang seusai menangis. Setelah kurasa baik, akhirnya aku kembali berkumpul bersama teman-teman. Aku tidak menjauh seperti tadi, malah aku mengajak mereka tertawa, setidaknya itu membuatku sedikit membaik.
"Besok pagi, kita berkumpul di sini jam delapan. Jangan telat!" kata Zalfa dengan penuh penekanan di akhir kalimatnya.
"Yang ke rumahnya Atha perwakilan atau semua ini?" tanya Lia.
"Semua, jadi kita ke sana sama-sama," jawab Zalfa.
Semuanya mengangguk setuju. Setelah semua tampak setuju, akhirnya kami pulang ke rumah masing-masing. Beruntungnya, aku tidak mengantar Alif pulang karena dia boncengan bersama Zalfa. Lantas aku langsung pulang.
Sesampainya di rumah, aku langsung menuju kamar. Satu benda yang kutuku saat ini adalah Handphone. Bagaimana aku bisa melewatkan hal sepenting ini? Padahal sejak sore aku memegangnya hanya untuk mendengarkan shalawat. Dengan lincah, jari jemariku membuka pesan dari grup ustadz dan ustadzah pesantren. Mataku berkaca-kaca, saat membaca pesan yang dikirimkan Ustadz Alwi sekitar pukul lima lebih tujuh menit sore tadi. Aku terduduk lemas di atas kasur dengan deraian air mata yang keluar tanpa hentinya.
"Ini nyata," gumamku.
_____
Kepalaku terasa sangat berat seusai bangun tidur tadi. Kedua mataku membengkak dan mataku terasa sangat mengganjal mungkin karena semalam aku tidak bisa tidur dengan nyenyak. Bagaimana bisa tidur dengan nyenyak, jika pikiranku hancur berkeping-keping. Setelah selesai bersih-bersih kamar dan membersihkan diri, aku bersiap untuk menunggu kedatangan teman-temanku yang rencananya akan melayat ke rumah Atha.
KAMU SEDANG MEMBACA
[AU2] Keikhlasan Cinta✓ [COMPLETED]
Ficção Adolescente[Sequel Alfiyah Untukmu] ~Belum Revisi~ "Namamu akan selalu ada didalam hatiku, meskipun kau takkan pernah menjadi milikku." Nayyira Huwaida Husna. Cinta memang sudah untuk ditebak. Takdir Tuhan-lah yang mampu menyatukan cinta. Akankan cinta Nayyira...