Keikhlasan Cinta 34

1.2K 89 0
                                    

بسم الله الرحمن الرحيم

_____

Terkadang aku tertawa dengan takdir ini yang seakan mempermainkan ku. Aku bukan yang terbaik untuknya, tapi garis takdir selalu mendekatkan ku padanya. Lucu bukan?

_____

Setelah kejadian semalam, hatiku semakin kuat untuk tidak melepaskannya. Setiap bacaan salatnya seakan terekam jelas di memori otakku. Suaranya masih seperti terdengar jelas di pendengaranku. Sorot matanya seakan masih ada dihadapanku. Aku gagal melupakan semua tentangnya. Nyatanya aku tidak mampu melakukan itu semua.

Mentari pagi menyapa dengan semburat indahnya. Memasuki celah-celah jendela yang tertutup korden. Suara burung berkicau terdengar indah di telinga. Udara masih terasa sangat segar. Pemandangan para santri berlalu lalang memperindah suasana pagi ini.

Aku sudah terbangun sejak pukul tiga tadi. Setelah salat tahajud, membaca Al-Qur'an dan salat subuh, kini saatnya aku bersih-bersih kamar. Sudah menjadi kebiasaan di setiap hari. Meskipun ada asisten rumah tangga, Umi selalu mengajariku untuk sebisa mungkin tidak bergantung pada keberadaan asisten. Melakukan pekerjaan rumah sendiri selagi masih bisa.

Hari berjalan begitu cepat. Tidak terasa jika pernikahan Atha sudah di depan mata. Rasanya aku masih sulit untuk percaya. Bagaimana tidak, aku masih belum yakin jika berita ini benar adanya. Karena sudah berkali-kali seakan aku terkena prank pernikahan Atha yang selalu diundur atau ditunda.

Seusai bersih-bersih, aku langsung mandi. Aku adalah tipe orang yang tidak bisa jika tidak mandi. Tidak mandi sama saja seperti hal yang sangat menjijikkan bagiku. Selain badan terasa lengket, jika ingin keluar rumah pun menjadi sedikit malu juga. Pernah aku mencoba tidak mandi sehari, bukan hanya tidak enak tapi Umi terus memarahiku sepanjang hari kata beliau aku tidak boleh jorok. Ya, begitulah Umi, harus selalu bersih.

"Mbak Ira ..." teriak Afif dari luar kamar sambut menggedor pintu dengan keras.

Aku yang baru saja selesai mandi geram dengan kelakuan adikku yang satu ini. "Apa?" ketusku sambil membuka pintu.

"Aku disuruh Umi buat antar ini ke rumah Mbak Nur, kata Umi, Mbak Nur sedang sakit," ucap Afif sambil menunjukkan sekantung plastik yang dibawanya.

"Terus? Kan, kamu yang disuruh nganterin, kenapa ngomong aku, Fif?" geramku.

"Jadi kakak nggak peka banget. Ayo anterin aku, Mbak! Aku nggak tau rumah Mbak Nur," pintanya.

"Rumahnya di gang dekat pasar, gangnya cuma itu. Nah, rumahnya yang paling ujung cat putih. Sana berangkat!" jelasku.

"Ih, ayo anterin, Mbak!" desaknya.

"Jadi adik manja banget, itu motor ada, mobil juga ada kok repot banget hidupmu?" ujarku. Afif malah memasang wajah melasnya membuat naluriku sebagai kakak bekerja. Aku menghembuskan nafas panjang.

"Oke, aku antar tapi kamu yang nyetir, aku lagi males," putusku.

"Gantian tapi, nanti berangkatnya aku yang nyetir pulangnya ganti Mbak, oke," tawarnya.

"Iya-iya, repot banget. Ya udah, aku mau siap-siap tunggu aja di gerbang." Aku langsung bersiap dengan secepat kilat. Hanya menggunakan baju baby doll lengan panjang yang kututup dengan cardigan dan mengenakan celana kulot panjang tidak lupa jilbab instan yang mudah dipakai. Tanpa polesan make up, senatural mungkin.

Lantas aku menghampiri Afif yang sudah menunggu di gerbang depan. "Yok!"

Afif melajukan motornya menuju rumah Mbak Nur. Perjalanan sedikit terhambat saat melewati pasar. Lalu lalang pembeli membuat jalan semakin sempit. Belum lagi, ada mobil yang nekat lewat padahal sudah tahu jika jalanan pasar akan padat di pagi hari.

[AU2] Keikhlasan Cinta✓ [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang