بسم الله الرحمن الرحيم
_____
Salah satu tanda jika kita mencintai adalah takut kehilangan. Dan saat ini aku takut kehilanganmu.
_____
Hari sudah berganti menjadi malam. Malam ini udara sangat dingin. Rintik hujan baru saja reda. Awan tampak mendung dengan warna hitam pekat di atas sana. Bulan menyembunyikan pancarannya.
Saat ini, aku sedang berada di ruang tamu rumahku bersama para pengurus pondok. Rencananya, Minggu depan akan diadakan ujian akhir semester. Kami membentuk panitia dan akulah yang terpilih menjadi ketua panitia santri putri dan Atha menjadi ketua panitia santri putra. Setelah kepanitiaan dibentuk, kami merencanakan tentang jalannya ujian pada Minggu depan.
Rapat dimulai pada pukul delapan malam setelah semua ustadz dan ustadzah selesai mengajar. Kami saling bertukar pikiran untuk menemukan jalan yang tepat demi berlangsungnya ujian dengan baik. Sebagai ketua, aku mempunyai tanggung jawab besar atas terlaksananya kegiatan ujian nanti.
Bukan hanya aku tampaknya, Atha rupanya merasakan hal serupa denganku. Tapi aku yakin, Atha sudah terbiasa dengan semua ini. Dia sudah berpengalaman dalam hal ini dan ilmunya yang tinggi, itu cukup memudahkan pekerjaannya.
"Jadi pada saat pelaksanaan, dalam satu kelas kita bagi menjadi 2. Pelaksanaannya dilakukan sore dan malam. Sebagian ujian sore dan sebagian lagi ujian malam. Dalam satu bangku hanya diperkenankan 2 santri. Jika satu kelas berisikan antara 30-40 santri, maka kita bagi menjadi dua yaitu, 15-20 santri." jelas Atha kepada kami.
"Maaf saya potong, jika satu kelas dibagi menjadi 2, apa tidak repot? Lebih baik dijadikan satu saja." kata Mbak Sarah, salah satu Ustadzah tertua di pesantren.
"Begini Mbak, apabila kita jadikan satu itu malah lebih merepotkan lagi. Karena terkadang mereka akan menggunakan kesempatan untuk menyontek temannya. Jika satu kelas jadi satu, otomatis mereka akan duduk berdempetan. Itu sangat tidak efektif menurut saya." jawab Atha dengan tegas.
"Oke, bagaimana menurutmu, Ra?" tanya Mbak Intan padaku. Mbak Intan seperti moderator saja disini. Ia hanya bertanya pendapat serta menyimpulkan apa yang dibicarakan.
"Saya sependapat dengan Atha bahwasanya dalam satu kelas itu dibagi menjadi 2. Menurut saya itu juga lebih efektif. Dan untuk pengawasnya, saya meminta untuk setiap kelas mengisikan 2 orang pengawas. Bagaimana?" tanyaku.
"Silahkan jika ada yang ingin menanggapi!" kata Mbak Intan.
"Saya kurang setuju dengan itu. Untuk apa diperlukan 2 pengawas jika dalam satu kelas itu hanya 15-20 santri saja?" balas Pak Radit.
"Kalau saya setuju-setuju saja karena kita memperketat pengawasan dalam ujian. Pengawas yang satu mengawasi didepan dan yang satunya mengawasi dibelakang. Saya sangat setuju dengan pendapat Nayyira." sambung Atha.
"Baiklah, bagaimana yang lain apa ada yang keberatan dengan pembahasan tadi?" tanya Mbak Intan. Semua tampak menggelengkan kepala dan menyetujui pembahasan tadi.
"Alhamdulillah, semua setuju. Silahkan Atha untuk mengakhiri rapat pada malam ini!" kata Mbak Intan.
"Alhamdulillah, rapat hari ini telah selesai. Semoga kegiatannya bisa berjalan dengan lancar dan tidak ada yang keberatan. Dengan ini, saya mengakhiri rapat. Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarokatuh." ucap Atha lalu semua yang berada di ruang tamu menjawab serempak dalam Atha.
KAMU SEDANG MEMBACA
[AU2] Keikhlasan Cinta✓ [COMPLETED]
Teen Fiction[Sequel Alfiyah Untukmu] ~Belum Revisi~ "Namamu akan selalu ada didalam hatiku, meskipun kau takkan pernah menjadi milikku." Nayyira Huwaida Husna. Cinta memang sudah untuk ditebak. Takdir Tuhan-lah yang mampu menyatukan cinta. Akankan cinta Nayyira...