Nia POV
aku melihat matahari mulai merangsak naik dari atap bening yang berada tepat diatasku, dimana aku tengah duduk memeluk erat kakiku.
Tak sedikitpun hangat yang kurasakan.
Pagi menjelang siang yang dingin, kelabu dan tak sebongkah kecilpun langit menampakkan rona birunya.
Apakah semestapun ikut berduka dengan musibah yang menimpaku??
"Kak Danish... Maafin Nia ya... " Ucapku menatap sebuah bingkai foto yang menampilkan senyumku yang manis bersama kak Danish yang sungguh jelek menempel di dinding kamar asrama. Foto itu, saat berada di butik bu Dhea beberapa waktu lalu.
Aku tersenyum tipis mengingat kejadian hari itu.
Tapi aku tak bisa lama-lama menahan senyum itu. Dadaku kembali sesak.
Masih tak bisa menganggap semua ini nyata.
"Nia telah hancur kak...! "
Ditambah kepalaku yang terasa ngilu, serasa dipukul palu berkali-kali.
Tak lama setelah itu, rasa perih yang merambat dari dalam perutku dan semakin menyembul ke permukaannya tambah membuatku susah bergerak bahkan hanya untuk bernafas.
"Nia telah merusak cita-cita dan harapan kakak, Ummi, Abah dan semua orang yang selalu membanggakan Nia... "
"Apa Nia masih pantas bersanding dengan seorang alim seperti kak Razi??"
Perutku mual dan mataku mulai berkunang-kunang melihat sekeliling kamar.
Begitupun kudengar dering telfon berkali-kali semenjak aku duduk berdiam diatas sajadahku yang agak basah oleh cairan yang aku sendiri tak tahu berasal dari mana.
Saat hendak kuberdiri menghampiri handphoneku di atas meja, tubuhku tersungkur. Tak kuat menahan rasa pening di kepala dan sakit yang teramat kuat di perutku.
Aku sedikit meraba bagian perutku dan, ada darah disana. Aku begitu panik melihat bukan hanya di perutku saja, tapi darah telah merembes ke mukenah dan sajadah yang tengah ku tempati.
Kepalaku semakin pusing dan tak ada lagi yang bisa kuperbuat. Tubuhku semakin menggigil dan mataku mulai terpejam.
Aku tak lagi merasakan sakit seperti sesaat lalu.■■■■
Author POV
"Kak Ibra... "
Nia masih belum kunjung sadar. Bahkan sudah hampir satu jam dia terus menyebut nama Ibra tanpa henti.
Dokter hanya menyarankan agar tak ada yang mengganggunya sampai ia benar-benar berhenti mengigau.
Yasmin ikut terjaga demi memastikan Nia baik-baik saja dan ditemani oleh Afa yang tengah tertidur pulas di sofa.
Razi tak bisa berbuat apapun kecuali berusaha menenangkan diri. Dengan tidak ingin diganggu oleh siapapun, ia pergi menuju mushola dimana ia bisa menata pikirannya agar tidak membayangkan hal yang macam-macam. Ia menyibukkan otaknya dengan kembali murajaah hafalannya.
Jam dinding masih menunjukkan pukul 2 pagi. Rumah sakit tengah lengang, tak ada aktivitas yang dilakukan oleh petugas ataupun manusia lainnya, hingga suara Razi terdengar lantang meskipun masih terkesan halus dan ada nada memilukan disana.
Dan Ibra, ia masih terjaga bersama Haura di balkon lantai atas rumah sakit. Hawa dingin berhembus halus menyapu permukaan kulit.
Tak ada yang membuka suara.
Haura yang selalu dan masih saja menatap wajah kakaknya yang sendu dipangkuannya, dan Ibra yang menatap kosong kedepan.
Mereka terdiam.
Berusaha keras melawan pikiran-pikiran aneh ataupun perasaan masing-masing yang tengah sama kacaunya dengan sebab yang sama pula.
"Ib... !! "
Bukannya Ibra yang menghadiri panggilan tersebut, justru Haura.
"Kak.... " Hentak Haura membangunkan Ibra dari posisinya.
"Kenapa?? "
Haura tak langsung menjawab kebingungan Ibra, ia hanya memberikan tanda. Lirikan mata pada seseorang yang memanggil nama kakaknya.
"Sudah, kau tak perlu beranjak dari tempatmu. "
Dia Razi.
"Aku hanya meminta dengan sangat padamu Ib. Jangan ganggu pikiran Nia dengan keadaanmu yang selalu saja membuatnya tak tenang. Aku tahu, Nia belum sepenuhnya menyadari semua ini. Ia masih berada di masa lalunya bersamamu. Dan sekali lagi kumohon. Biarkan semua ini berjalan sesuai alurnya. Kami akan menikah.
Kami telah mendapat restu dari orangtua kami dan aku tidak ingin menghancurkan mimpi orangtua kami, dan tentu aku ingin tidak ada pihak lain yang mengganggu ataupun terganggu. Jangan biarkan seumur hidupku nantinya hanya dipenuhi rasa bersalah kepadamu Ib. Semua ini ada pada keputusanmu. Pergi dari hidup Nia atau bertahan dengan sakit yang terbagi rata diantara kita bertiga. Aku yakin, kau bisa mendapatkan yang lebih baik dari Nia. Tapi tolong, biarkan hidup Nia tenang dengan sikap tegasmu untuk segera berpaling darinya."Ibra memutuskan untuk tidak langsung berkomentar.
Ia tertahan sepersekian detik demi melonggarkan dadanya yang semakin sesak.
Senyum tulus terukir.
Ibra mendekati Razi yang masih berdiri agak jauh dari kini ia berada dengan langkah yang mantap.
Meraih bahunya dan segera memberi keputusan.
"Itulah sejatinya cinta. Dan inilah sejatinya sayang... " Ucap singkat Ibra, untuk kemudian berlalu meninggalkan Razi yang masih tetap berada ditempatnya.
Razi terdiam menatap kosong ke depan dengan pandangan berkaca.
Ibra sudah berlalu bersama Haura dengan wibawanya akan keputusan besar tersebut.
"Maafkan aku Ib.. "
#end of part 39
KAMU SEDANG MEMBACA
The Way Of LOVE
RomanceNia tak tahu harus menyalahkan siapa, ketika cinta yang ia pilih dengan hati nuraninya tiba-tiba ditentang oleh kedua orangtuanya. Mereka bahkan tak segan membuang Nia jauh dari kehidupan mereka, jika Nia masih bersikukuh pada pilihannya. Acara lama...