Atap alam mulai bersemu merah. Gema adzan maghrib saling bersautan dari satu surau ke surau lain dan udara mulai terasa dingin menghempas permukaan kulit.Aku masih membisu, duduk beriringan di atas motor matic milik pria yang aku sendiri tidak tahu siapa namanya. Aku hendak bertanya, tapi ada gengsi yang harus aku jaga.
Pun, kenapa aku yang harus bertanya?? Toh kalau memang penting pasti dia yang lebih dulu menanyakan siapa diriku.
'Ehhh....santai dong Nia...tak usah dipikirkan'. Jeritku tanpa suara
Disepanjang jalan desa, terlihat ramai orang berbondong -bondong keluar dari rumah mereka masing-masing, bergegas pergi menuju surau terdekat untuk segera menunaikan sholat maghrib berjamaah.
Dan anak-anak kecil dengan iqro yang mereka genggam erat, ramai berlarian sembari tertawa lepas, saling kejar atau bahkan saling berlomba untuk sampai lebih dulu ke surau. Ba'da Maghrib adalah waktu yang sakral. Dan mereka, anak-anak itu menyambutnya dengan riang gembira.
Aku tersenyum geli, melihat tingkah lucu mereka. Ada banyangan masa lalu yang aku rindu.
Mengingat beberapa tahun lalu saat usiaku masih 6 tahun, setiap hendak pergi mengaji, kakak lelakiku tidak pernah membiarkanku jalan sendiri. Dia selalu menggendongku lalu berlari cepat agar lebih dulu sampai tepat di rumah om Bahar lebih awal dari teman-temannya yang lain.
Aku pernah bertanya, "kenapa si kak?? Nia kan gendut, nantubkakak capek kalo harus terus-terusan gendong Nia. Ya ngga papa si.. cuma jangan lari juga, kalau Kakak jatuh kan aku juga ikut jatuh."
Dengan nafas yang masih tersengal, kakak menghujamku dengan tawa jahilnya yang begitu nyaring. Dia bahkan sudah bermandikan keringat.
Di bawah pohon jambu yang mulai kembali bertunas, aku turun dari gendongan kakakku dan segera merajuk.
"Hahahaha....Nia...adik kakak yang paling gemesss...!!!"
Aku berteriak kencang karena ulah kak Danish yang kelewat nakal, pipiku sakit dicubit olehnya. Dan begitulah tabiatnya.
"Sssttt...jangan teriak Ni...nanti om Bahar marah loo.."
"Sakit tau kak...biarin aja, paling ntar kakak yang kena omel." aku merajuk kesal, kedua tanganku terlipat di depan dada dan kupalingkan wajah sembilan puluh derajat. Melihat vas bunga yang ada di atas meja.
Bukannya membujukku untuk berdamai, dia justru menarik paksa lenganku, membawaku pergi lagi.
"Kak Danisshhhhhh......!!!!" aku makin bersungut-sungut dengan polah kakakku satu-satunya itu.
Tanganku tak bisa berhenti memukul-mukul kecil punggung kakakku yang basah. Ia tak berhenti, justru lebih kencang membawaku pergi.
Baru tepat di ruang tamu rumah, kak Danish berhenti dan mendudukkanku di atas kursi rotan milik om Bahar. Aku menatapnya malas.
"Nihh kakak bilangin yaa..."
Sayangnya aku masih merajuk kesal, dan tidak sepenuhnya mendengarkan ucapannya dengan selera.
Sambil mengatur nafasnya yang tersengal, Kak Danish mulai berjongkok mengahadap ke arah aku yang kembali berpaling.
"Kenapa kakak gak izinin kamu jalan sendiri ataupun selalu lari cepat membawamu di pundak kakak....alasannya cuma satu !! Kakak itu sayang sama kamu Nia. Kakak nggak mau kamu capek dan lebih parahnya diganggu sama temen-temen kakak. Kamu tahu sendiri kan?? Selain kamu nggak ada satupun murid om bahar yang cewek..??"
Aku berusaha mencerna setiap ruas kalimat kakakku. Kulirik dia, matanya tampak berbinar, ada ketulusan disana. Dan itu membuatku sedikit merasa bersalah karena telah mengabaikannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Way Of LOVE
RomanceNia tak tahu harus menyalahkan siapa, ketika cinta yang ia pilih dengan hati nuraninya tiba-tiba ditentang oleh kedua orangtuanya. Mereka bahkan tak segan membuang Nia jauh dari kehidupan mereka, jika Nia masih bersikukuh pada pilihannya. Acara lama...