"Coba jelaskan lebih detil seperti apa rupa pria yang mencelakakan saudari Ghania waktu itu.."
Mengingat kejadian kala itu, Bahar kembali mengutuk dirinya sendiri atas kecelakaan yang menimpa Nia. Ia harusnya bisa melindungi keponakannya sendiri.
" yang saya ingat, terakhir kali pria itu memakai kaos polos, celana jeans robek pada bagian lututnya dan satu lagi. Dia memiliki bekas luka permanen di dekat bibirnya.."
"Apa ada ciri fisik lain yang lebih spesifik, atau anda tahu siapa namanya??"
Bahar menggeleng lesu, " hanya ciri-ciri itu yang saya tangkap. Bahkan pisau kecil yang pria itu gunakan untuk mencelakai Nia ia bawa pergi lari, saya tak sempat mengejar dan menangkapnya karena kepanikan saya akan kondisi keponakan saya yang bersimbah darah. Jangankan nama, bahkan saya tak pernah melihat pria itu sebelumnya." jelas Bahar panjang lebar tanpa memandang wajah seorang pemuda berseragam polisi yang tengah duduk santai menginterogasinya.
Tidak nyaman berada dalam posisinya, Bahar memangku kepalanya yang terasa berat.
"Anda tahu karena masalah apa pria misterius itu mencelakai saudari Ghania? Apakah karena motif dendam??"
Mata Bahar berkilat menatap pria muda didepannya.
"Lebih baik anda tanyakan saja langsung kepada yang bersangkutan. Untuk masalah itu saya angkat tangan. Tidak tahu!" Ucap Bahar seraya berlalu meninggalkan beberapa orang yang sejak beberapa menit lalu bertamu kerumahnya.
" terimakasih atas waktunya pak.."
Bahar sudah terlanjur melenggang pergi memasuki kamarnya yang ia biarkan dalam kondisi gelap. Semua jendela ia tutup rapat begitupun dengan lampu yang tak pernah ia biarkan menyala. Ia selalu berdiam diri disana.
Bukan karena ia meratapi nasibnya atas kepergian Istri dan mimpi-mimpinya yang terabaikan.
Justru dia merasa bahwa semua itu adalah bentuk kasih sayang-Nya yang diungkapkan dalam bentuk yang berbeda. Ia lebih sering bermuhasabah dan bertafakkur atas nikmat yang selama ini Terima bukan sebagai sebuah kebahagiaan namun lebih ia anggap sebagai derita.
"Hamba tak berhak sepenuhnya atas milik-Mu ya Rabb, apapun itu.., "
■■■■Langkah Nia begitu tak terkendali. Ia beberapa kali tersentak karena kakinya tak sengaja terpleset kerikil halus yang tersebar di sepanjang jalan kecil dihalaman kampus. Wajahnya ia tutupi dengan kain khimar besar yang dia pakai, berusaha menghindari tatapan orang di sekitarnya.
"Yasmin mana si... " Ucapnya sembari berulang kali menghubungi kawannya itu, wajahnya sembap . Ia merasa malu atas kejadian beberapa menit lalu saat berada di dekat parkiran. Banyak mata yang memandangnya tak suka walaupun ia tahu bahwa Razi calon suaminya. Iya, sementara ini orang-orang kampus hanya dia, Yasmin dan Razi yang tahu akan pernikahannya. Selain itu, mereka semua beranggapan bahwa seorang Razi adalah pria yang tak pernah berbuat cela, begitupun Nia yang selalu menghindar dari godaan lelaki manapun yang berusaha mendekatinya.
Namun kejadian tadi telah mengingkarinya, Razi yang tetap memeluknya meski dia dalam keadaan sadar membuatnya kikuk.
'Harusnya ia langsung melepaskanku.... '
"Ehh Fi.. Kamu tahu dimana Yasmin?? "
"Lo kenapa Ni?? "
Nia kembali menyembunyikan wajah dan pandangannya.
"Nggak papa.. Yasmin dimana ya..aku ada perlu?? "
"Ohh semoga memang benar tidak terjadi apa-apa padamu ... "Nia hanya membalas dengan senyumnya yang terpaksa.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Way Of LOVE
RomanceNia tak tahu harus menyalahkan siapa, ketika cinta yang ia pilih dengan hati nuraninya tiba-tiba ditentang oleh kedua orangtuanya. Mereka bahkan tak segan membuang Nia jauh dari kehidupan mereka, jika Nia masih bersikukuh pada pilihannya. Acara lama...