Bab 34 : Kotak Kayu Tua

437 66 0
                                    

“Gue capek, Chic. Lagi gak bersemangat untuk ke Cafe malam ini,"

"Yah elah, gue udah pesan tempat juga, Tasya ama Milly juga udah nungguin..,"

"Maaf banget... "

Chicco menghela nafas melihat Kanaya yang menundukkan kepala tak berani membalas tatapannya. Pemuda imut itu membelai kepala Kanaya, ajakannya untuk pergi ke Cafe, sebenarnya untuk menghibur Kanaya yang sedang terguncang karena Devandra.

"Plis lupain dia, Aya, dia gak pantes lo sedihin..," kata Chicco pelan. "Dia emang pantes dihukum,"

Kanaya tak menyahut, masih menunduk.  Gadis itu tau Chicco benar. Tapi entah kenapa dia begitu sulit melupakan Devandra, walau Devandra sudah menyakitinya, sudah membuatnya begitu terpukul. Walau perbuatan Devandra begitu diluar batas perikemanusiaan..

Senyum Devandra, tatapan lembut itu, panggilan 'Bidadari Cantik' yang selalu dituliskan Devandra dalam kartu - kartunya, kotak musik itu...

Setelah Chicco akhirnya pulang, Kanaya merasa matanya basah saat memandang kotak musik mungil yang masih terpajang di meja belajarnya.  Kotak  musik pemberian Devandra, jika dibuka, akan mengalun lagu Fur Elise milik Beethoven mengiringi Balerina Kecil yang berputar - putar sepanjang lagu. Gadis itu mengambil kotak musik itu dan membukanya. Musik mengalun perlahan.

Ah Devandra, kenapa?  Kenapa harus lo yang ngebunuh Kak Talitha, kenapa harus lo yang ngelakuin semua pembunuhan itu? Siapa lo sebenarnya? Apa yang ngebuat lo jadi seorang pembunuh?  Kanaya mengusap air matanya yang meleleh. Bunga mungil putih dari Devandra, yang diam - diam dipungutnya lagi dan disimpannya, kini sudah layu, Kanaya membelai bunga itu. Gu - gue sebetulnya masih sayang ama lo, Dev...

Musik Fur Elise tiba - tiba berhenti sendiri, padahal lagunya belum selesai. Kanaya terjengah, saat mendengar bell pintu depan rumahnya berbunyi. Saat itu sudah hampir pukul 8 malam. Siapa yang datang?

“Oh plis, gue harap Chicco gak balik lagi maksain gue ke Cafe,” Kanaya mengeluh, mengembalikan kotak musik ke atas meja belajarnya,  dengan enggan akhirnya dia pergi juga membuka pintu rumahnya.

“Kanaya?” terdengar seseorang menyapa.

Jantung Kanaya nyaris berhenti berdetak, saat melihat yang datang ternyata bukan Chicco, bahkan bukan Tasya atau Milly.

“Dev - Devandra?” Kanaya mendekap mulutnya, begitu kaget. "Bukannya lo di penjara?"

Gadis itu hanya bisa terpana memandang Devandra yang sedang berdiri di hadapannya, menatap sayu dengan iris mata yang kini berwarna hitam.

Kanaya merasa begitu miris karena penampilan Devandra terlihat  begitu menyedihkan malam itu. Wajah pemuda itu begitu pucat bagai tak berdarah, seluruh tubuhnya basah kuyup  seperti baru saja terkena hujan yang sangat deras, pakaiannya awut - awutan, penuh lumut, bahkan tapak - tapak kakinya yang basah tak bersepatu itu, mengotori lantai teras rumah Kanaya. Aneh, padahal malam ini udara begitu panas, kenapa Devandra basah kuyup? Terkena hujan di mana dia?

“Ka-Kanaya? Plis maapin gue," Tanya Devandra dengan suara hampir–hampir berbisik. "Maukah lo memberi kesempatan buat gue untuk ngejelasin semua??”

"Gimana lo bisa keluar dari penjara?" Kanaya justru melontarkan pertanyaan itu pada Devandra. "Ya Tuhan, jangan mendekat!"

Kanaya langsung mundur melihat Devandra seperti  hendak mendekatinya.

"Kanaya, gue...,"

"Semuanya udah terlanjur, Dev. Gak ada gunanya lagi penjelasan lo," tolak Kanaya. "Plis, lebih baik lo cepat pergi dari rumah gue sebelum gue panggil Polisi..,"

02.00 ( Tamat )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang