Author noted :
Warning ya...
Mohon bijaksana dalam membaca Bab ini.
Yang bukan fans horror silahkan menyingkirDan ini bukan akhir cerita ya? Belom ending, tenang aja...
Tunggu plot twistnya 😁
==================================Devandra duduk meringkuk dalam ruangan tahanan yang sempit itu, membisu, sendiri. Sudah beberapa hari dia di sana, tak ada yang menjenguk, tak ada yang peduli.
Devandra sudah pasrah, Chicco ternyata sudah melaporkan dirinya saat pertama Talitha ditemukan dibunuh malam itu.
Percuma jika ingin membela diri dengan mengatakan bukan dia pelakunya tapi Anzu. Devandra tau, pembunuh Talitha pastilah Anzu. Dan jika polisi tidak menemukan senjata apapun sebagai barang bukti, Devandra hanya tertawa getir, Anzu tidak perlu apa - apa untuk membunuh, hanya dengan tangan kosong. Dia yakin itu.
Tuduhan padanya semakin banyak, berawal dari polisi menggerebek apartemennya untuk mencari bukti - bukti yang menguatkan tuduhan Chicco pada Devandra sebagai pembunuh Talitha, Polisi justru menemukan hal lain yang tak kalah mengejutkan di apartemen itu.
“Pemuda ini ternyata bukan saja seorang pembunuh, Komandan! Dia juga seorang Psikopat!! Lihat!”
Devandra masih ingat saat seorang Polisi menemukan sebuah kamar tersembunyi di apartemennya, kamar yang ketika diperiksa, penuh dengan sangkar–sangkar berisi kelinci, kucing, ayam dan burung yang masih hidup, kamar yang lantainya penuh noda-noda darah, dan bangkai–bangkai binatang dalam kondisi darah yang tersedot sampai kering. Polisi jelas–jelas mengira Devandra sudah tidak waras.
“Astaga, apa ini?” Komandan Polisi mengerenyitkan wajahnya ketika menemukan kulkas besar di kamar itu dan membukanya. “Ya Tuhan!”
Polisi–polisi itu bagai terhenyak menyaksikan isi kulkas besar. Kulkas itu tidak berisi makanan atau minuman, tapi berisi potongan–potongan kepala dan tubuh manusia. Potongan kepala dan tubuh itu kering membeku tanpa darah, seolah darah itu sudah habis tersedot sebelum mereka terpotong–potong. Mereka, perawat rumah sakit, Rendy teman band Devandra, dan beberapa orang lagi.
Misteri hilangnya orang–orang yang selama ini menjadi tanda tanya besar bagi Kepolisian akhirnya terjawab sudah. Bahkan polisi akhirnya menemukan juga belasan kuburan tanpa papan nisan di halaman belakang gedung apartemen tempat tinggal Devandra.
Semua mayat dalam kulkas dan kuburan - kuburan tanpa nama itu adalah korban Devandra saat penyakit ketergantungan darah sedang menyiksa tubuh pemuda itu. Korban yang selama ini tidak pernah diketahui oleh siapa pun karena kekuatan ghaib Devandra yang menutupinya.
Tapi segalanya sudah berubah kini, kekuatan ghaib itu sudah punah, karena Devandra telah menjadi manusia seutuhnya, manusia biasa. Hingga segalanya dengan mudah terbongkar. Pemuda itu tak menyesali, justru tidak peduli, karena memang segalanya sudah tak ada gunanya. Hatinya sudah terluka, hatinya sudah kehilangan cinta Kanaya, tidak mungkin terobati lagi. Biarlah dihukum mati sekalipun, tak masalah, Devandra memang merasa tak ingin hidup lagi.
Devandra cuma membisu saat polisi–polisi mengintrogasinya, Devandra juga tak bereaksi saat dirinya dibawa ke Rumah Sakit Jiwa untuk diperiksa kewarasannya. Terserah, mau diapakan, Devandra sudah tak peduli.
Bahkan saat sidang pengadilan, saat tidak hanya keluarga Chicco, tapi juga keluarga - keluarga seluruh korban Devandra, tak ada satupun yang sudi mengampuni Devandra, dan meminta hukuman mati untuk Devandra, walau mereka tau menurut undang - undang hukum yang berlaku, Devandra belum cukup umur untuk menerima hukuman mati. Tapi perbuatan Devandra dianggap sudah melewati batas perikemanusiaan.
Pemuda itu hanya terjengit saat palu hakim diketuk, menandakan vonisnya sudah jatuh tidak bisa ditawar lagi. Hukuman mati. Walau hukuman itu akan dilaksanakan pada saat Devandra berumur 21 tahun. Menjelang masa itu, Devandra tentu saja harus mendekam dalam penjara anak - anak hingga berumur 18, setelah itu baru dipindahkan ke penjara orang dewasa.
Devandra cuma diam saja, bahkan tidak menoleh saat para petugas Lapas dan polisi yang mengenalinya sebagai finalis peserta acara Youth' Got Talent memeluk pundaknya mencoba menguatkan hati. Mereka tampak sangat menyesali karena pemain biola idola mereka, yang berwajah tampan memesona bagai Dewa - dewa Yunani, yang berkulit putih bagai salju, yang berhidung mancung dan bibir merah mudanya yang begitu indah, ternyata adalah seorang psikopat, seorang pembunuh berantai yang begitu sadis.
"Apa benar kamu tidak ingin menghubungi keluargamu untuk mendampingi?" Tanya mereka, dan Devandra hanya menjawab dengan telunjuk yang mengarah pada daftar nama - nama korban yang sudah berhasil diidentifikasi. Para petugas Lapas dan Polisi terhenyak melihatnya. Devandra juga membunuh keluarganya. Walau mereka hanya keluarga angkat, tapi Devandra sudah membunuhnya juga.
"Demi Tuhan, apa yang ada dalam pikiranmu, Nak? Hingga kamu tega membunuh begitu banyak orang," para abdi negara itu menggeleng - gelengkan kepala, sulit percaya, seorang anak berumur 17 tahun sanggup melakukan itu semua.
"Untuk bertahan hidup," jawaban Devandra sangat mencengangkan mereka.
"Untuk bertahan hidup? Apa maksud kamu?"
"Saya gak bisa menahan rasa sakit,"
Para abdi negara itu terjengah saat Devandra membalas tatapan mereka dengan mata berkaca - kaca.
Tak ada yang mengerti maksud kata - kata Devandra, dan pemuda itu juga tak punya keinginan untuk menjelaskan. Percuma, karena tak mungkin ada yang percaya, bahwa Devandra membunuh karena sangat membutuhkan darah untuk menghilangkan rasa sakit, mempertahankan hidupnya dan hidup Anzu.
Semua memang terlalu sulit buat Devandra. Sebagai anak yang pernah terlahir setengah manusia, setengah mahluk halus, memang tak ada yang menerima, tak ada yang percaya, bahkan Kanaya yang sangat dicintainya pun, sekarang sudah mengganggapnya seorang pembunuh, tak sudi lagi bersamanya.
Malam pukul dua dini hari di dalam ruangan tahanan yang sempit, Devandra menarik lepas seprai tempat tidurnya, mengikat ujung seprai pada terali jendela tertinggi dalam ruangan tahanan, sebelum mengalungkan seprai itu pada lehernya sendiri.
"Aaargh!!" Teriakan kaget petugas Lapas yang sedang piket mengontrol ruang tahanan Lapas dini hari itu, membahana begitu keras saat melihat sesosok tubuh tergantung, sedang berkelojot meregang nyawa.
Petugas Lapas menemukan secarik kertas lusuh berisi sederet tulisan acak - acakan, tak jauh dari tubuh Devandra yang tergantung. Sangat membuat ngilu, karena tulisan itu ditulis dengan darah.
Dear Kanaya,
Gue gak kan bisa mengampuni diri gue sendiri,
jika air mata itu jatuh gara - gara gueMungkin Chicco benar, semua benar, gue emang pantas mati
Dan 4 tahun nungguin vonis hukuman mati itu, terlalu lama buat gue yang udah ngebuat lo nangis, udah banyak ngecewain lo..,
Gue emang anak yang gak seharusnya terlahir.
Lo tau? Mereka bilang gue anak terkutuk..
Emang harus matiJadi malam ini, pukul 02.00 dini hari ini, izinin gue pergi.
Mungkin itu yang terbaik
Biarin gue nyusul Anzu dan nyusul Mama gue ya..Plis maapin gue...
Dari gue,
Yang selalu mencintai lo,
Devandra"Ya Tuhan, anak ini..," rintih petugas Lapas begitu miris saat membaca tulisan itu. "Dia membunuh begitu banyak orang, tapi ternyata hatinya sangat perasa..,"
Bahkan saat tubuh kaku Devandra sudah diturunkan dan hendak disemayamkan di kamar mayat Rumah Sakit, para petugas masih bisa melihat bekas - bekas gulir air mata di pipi Devandra.
KAMU SEDANG MEMBACA
02.00 ( Tamat )
HorrorKanaya yang sedang berduka, menghadiri pemakaman orang tuanya yang meninggal karena kecelakaan, tak sengaja bertemu dengan Devandra Sosok Devandra yang begitu memukau bagai dewa - dewa legenda Yunani yang tampan, seorang pemuda yang bercita cita me...